Daftar Blog Saya

Kamis, 15 April 2010

SITUASI SOSIAL POLITIK DI TANAH PAPUA - PROVINSI PAPUA BARAT
      Tanggal :  29 Nov 2007
      Sumber :  Simpul Kepala Burung Papua


Prakarsa Rakyat,

Inisiatif Perlawanan Lokal Simpul Kepala Burung Papua,  Januari - Maret 2007

Oleh : Proton


Pengantar

Tulisan ini merupakan update situasi sosial, poltik, ekonomi, bidaya, keamanan di Papua dan Papua Barat bulan Januari-Maret. Laporan ini berisikan berbagai peristiwa/kasus yang terjadi dan dianggap mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan politik dan keamanan di tanah Papua.


Analisis

Dari berbagai hal yang terjadi di Papua awal tahun 2007 ini, peristiwa politik yang paling besar menjadi bahan diskusi di tingkat kelas menengah adalah issu pemekaran baik propinsi maupun kabupaten yang terus bergulir cepat. Suara pemekaran yang kontroversial (karena banyak juga pihak yang tidak setuju)  dimulai dari wilayah barat yang menginginkan pembentukan Propinsi Papua Barat Daya atau PBD (15 Januari 2007), tak lama kemudian disusul oleh deklarasi Papua Selatan (12 Pebruari 2007), dan pada saat yang sama kembali mencuat tuntutan reaktivasi pemekaran propinsi Papua Tengah atau Irian Jaya tengah.  

Propinsi Papua Barat Daya, mengkalim Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Teluk Bintuni sebagai bagian dari wilayahnya. Sementara itu Papua Selatan direncanakan meliputi 4 wilayah yakni Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi dan Asmat. Sedangkan Irian Jaya Tengah direncanakan berpusat di Nabire, dengan cakupan wilayah-wilayah di perairan Teluk Cendrawasih yang meliputi Kabupaten Biak, Kabupaten Serui, Kabupaten Nabire, Kabupaten Yapen Waropen, dan Kabupaten Supiori.

Jumlah kabupaten di masing-masing calon propinsi di atas masih akan bertambah seiring pembentukan kabupaten-kabupaten baru yang juga terus berjalan. Memang tidak ada undang-undang maupun ketetapan yang menyatakan tentang berapa jumlah daerah yang akan dimekarkan. Elite-elite Papua sejak masa Gubernur J. Patipi, telah mempersiapkan Papua ke depan akan terpecah menjadi 6 propinsi berdasarkan etnografi, yaitu bagian kepala burung (ritus Kain Timur), bagian sayap (ritus Bomberai), teluk cendrawasih (ritus Saireri), pantai utara (ritus Tabi/humbolt), pantai selatan (ritus H-Anim), dan pegunungan tengah (Lani/Dani). Pembagian ini berdasarkan UU 45/1999 tentang pemekaran Papua dan UU 21/2001 tentang Otsus yang mensyaratkan kesamaan sosial budaya masyarakat di tiap satuan wilayah pemekaran.    

Namun dalam perkembangannya menurut perhitungan berbagai pihak, kemungkinan besar akan ada 7 propinsi yang bakal terbentuk yakni; bagian barat daya (Papua Barat Daya), bagian barat (IJB yang pada tanggal 7 Pebruari 2007 dideklarasi berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat), bagian teluk cendrawasih (Teluk Cendrawasih), bagian selatan (Papua Selatan), bagian pegunungan tengah (Papua Tengah), bagian timur yang merupakan propinsi induk (Papua), serta bagian utara (Papua Utara).  

Demam pemekaran kini tengah melanda seluruh tanah Papua, mereduksi issu merdeka yang beberapa tahun lalu marak terdengar. Namun yang jelas pemerintah pusat masih memegang peran penting dalam seluruh proses pemekaran di Papua. Kata orang: jika Jakarta menghendaki apapun, maka terjadilah kehendaknya di tanah Papua.
Kalimat pernyataan Kehendak Jakarta yang terjadi di Papua, secara sederhana menunujukkan kepada kita bahwa, pemerintah lokal di Papua (Gubernur-Kepala Kampung) tidak memiliki "Kekuatan Hukum" untuk mengatur wilayah kerjanya dengan bebas. Semua harus tunduk pada keputusan Jakarta. Selain itu juga mengisyaratkan persoalan lain, bahwa masyarakat adat yang tinggal tanah Papua, hanya memiliki hak tinggal dan pakai atas tanah-tanah adat yang ada, sedangkan hak kepemilikan ada pada negara dan oknum-oknum Birokrat, Militer, Pengusaha, dll, yang memiliki kekuatan politik dan modal.

Dengan kekuatan hukum dan modal yang dimiliki sehinga dengan mudah dapat melakukan apa saja yang mereka mau di tanah Papua, seperti kapling tanah rakyat, memberikan ijin tebang hutan kepada pengusaha HPH, Tambang, dll di Jakarta tanpa melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk meminta ijin, masalah paling tragis adalah penangkapan-pembunuhan terhadap rakyat Papua yang melakukan protes terhadap sistem tersebut (dan dicap sebagai "separatis").

Perubahan-perubahan yang terjadi di Papua dari waktu ke waktu, sangat mengejutkan kita, dengan kebebasan luarbiasa yang dimiliki oleh oknum-oknum di pemerintahan (Eskekutif, Legislatif, Yudikatif dan Keamanan) yang melakukan kehendaknya sesuka hati di Papua untuk kepentingan pribadi, oraganisasinya.

Kondisi ini membuat masyarakat adat Papua  Berjalan dari Tanda Bingung yang satu ke Tanda Bingung yang lain. Melihat konflik perebuatan kekuasaan politik antar elite Papua yang disponsori oleh elite politik di Jakarta, perebutan sumber daya alam antar masyarakat mulai dari tingkat Kampung, Distrik, Kabupaten,Provinsi sejak UU. No.21/2001 dikeluarkan dan diberlakukan di Papua.

Rasa keadilan yang didambahkan masyarakat, hanya impian semata karena di Papua tidak ada keadilan. Keadilan hanya ada di Uang, Kekuasaan, Senjata, dan Pengadilan yang merupakan permainan politik kekuasaan Negara yang sentralistik-militeristik.  

O.P.M (Otonomi, Pemekaran, Merdeka)

Pemecahan Papua menjadi beberapa propinsi atau pembentukan propinsi baru  mensyaratkan beberapa hal, diantaranya: jumlah penduduk, jumlah dan keluasan wilayah, ketersediaan infrastruktur terutama telekomunikasi dan transportasi, kesiapan sumber daya manusia, serta yang terpenting adalah pemekaran merupakan aspirasi mayoritas rakyat di wilayah bersangkutan. Aspirasi pemekaran disampaikan kepada DPR Papua sebagai propinsi Induk dan Majelis Rakyat Papua (MRP), untuk kemudian dinilai apakah aspirasi tersebut layak atau memenuhi syarat untuk diwujudkan.

Namun di luar yang tertulis dalam undang-undang, beberapa aspek berkaitan dengan pemekaran dapat dianalisis sbb:

  a.. Keinginan Jakarta meredam Merdeka. Pasca kongres Papua II pada tahun 2000, aspirasi merdeka bergaung di seluruh pelosok Papua. Saat itu Gus Dur sebagai presiden memberikan banyak hal yang diinginkan oleh Papua. Namun UU Otsus kemudian terbit pada akhir tahun 2001 untuk meredam tuntutan merdeka yang menguat tersebut. Pada masa pemerintahan Megawati, issu M semakin ditekan dengan penerbitan Inpres No 1 tahun 2003 tentang percepatan pemekaran wilayah. Pemekaran dimulai di wilayah kepala burung yang saat itu relatif sepi aksi-aksi M-nya dibandingkan Papua wilayah timur dan pegunungan tengah. Di samping itu, daerah-daerah di kepala burung adalah basis kuat PDIP, yang dengan mudah dimobilisasi dukungannya terhadap seruan Megawati. Mencuatlah nama Jimmy Demianus Ijie sebagai motor pemekaran yang dengan cepat membentuk tim 315 (sesuai jumlah anggota tim), dan Bram Atururi sebagai pion yang kelak memegang tampuk pimpinan di IJB. Jimmy Ijie kemudian menjadi ketua DPRD IJB.
  b.. Proyek bagi segelintir orang. Setelah IJB berhasil terbentuk, para tim sukses yang dulu terlibat dalam proses-prosesnya kemudian mendapatkan jabatan tertentu dalam pemerintahan propinsi. Para anggota tim 315 membentuk LSM bernama Irian Jaya Crisis Center (IJCC), yang salah satu fungsinya adalah mengakomodir berbagai tender pembangunan dari pemerintah IJB. Jimmi Ijie tidak berhenti sampai di situ. Setelah sukses dengan pembentukan IJB, ia bersama dengan Daud Obadiri, IJCC, dan didukung oleh PDIP (serta "BIN") mereka kembali melakukan manuver untuk mendorong reaktivasi pemekaran Irian Jaya Tengah (IJT). Meski beberapa daerah di Papua Tengah tidak ingin pemekaran, namun issu tersebut terus dihembuskan. Pembentukan propinsi baru menjanjikan proyek pembangunan yang berlimpah-limpah bagi orang-orang tertentu.
  c.. Hasrat berkuasa para politisi yang kalah dan post power sindrome. Setelah IJB sukses sebagai propinsi secara de facto maupun de jure, tuntutan pemekaran propinsi lainpun marak. Namun disangsikan bahwa aspirasi pemekaran adalah keingingan rakyat bawah di tiap wilayah. Lihat saja, PDB dideklarasikan salah satunya oleh Dorotheus Asmuruf yang tersingkir dalam Pilkada IJB. Asmuruf yang eks sekda Papua pada masa gubernur Jap Salosa kini tidak memegang jabatan apapun. PDB juga didukung oleh John Piet Wanane yang sebentar lagi pensiun dari jabatan bupati kabupaten Sorong. Hal yang sama juga bisa dibaca dari deklarasi Papua Selatan, dimana Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze yang memimpin deklarasi ini beberapa bulan lagi akan pensiun. Gebze berpeluang besar menjadi gubernur pertama Papua Selatan.
Di tingkat kabupaten, terdengar issu akan dibentuknya kabupaten Arfak yang sekarang berada di bawah Manokwari. Bupati Manokwari Dominggus Mandacan beberapa bulan lagi akan meletakkan jabatannya, diduga setelah itu ia akan pulang kampung untuk memimpin pemekaran kabupaten Arfak. Hasrat pemekaran kabupaten juga muncul di Teluk Bintuni, dimana distrik Babo dan Idoor dikabarkan juga akan memisahkan diri, Care taker bupati Teluk Bintuni Deky Kawab yang kalah dalam Pilkada Teluk Bintuni kabarnya adalah aktor di belakang rencana pemekaran tersebut. Lain halnya dengan pemekaran kabupaten Tamrau (sekarang di bawah kabupaten Sorong), John Piet Wanane yang sebulan lagi pensiun dari Bupati Sorong mendorong pemekaran Tamrau, diduga dalam rangka untuk menggenapi persyaratan jumlah wilayah untuk menggolkan proposal pembentukan PBD.

  a.. Dominasi dan konflik kesukuan. Deklarasi pemekaran propinsi dan kabupaten juga tak lepas dari keinginan mendominasi dari suku-suku tertentu di Papua. Deklarasi PDB dicurigai bermuatan Ayamaruisasi (hasrat suku Ayamaru-Maybrat menguasai beberapa posisi penting di Papua). Pada masa kekuasaan Jap Salosa yang bersuku Ayamaru, banyak kepemimpinan politik dan birokrasi di Papua dipegang etnis Maybrat (biasa dijuluki A3: Aitinyo, Aifat, Ayamaru). Setelah wafatnya Gubernur Papua Jap Salosa, dominasi suku tersebut melemah. Naiknya Bram Atururi (IJB) yang beretnis Serui dan Barnabas Suebu yang beretnis Sentani (Papua) sangat didukung oleh suku-suku lain di Papua, dengan harapan ia dapat memotong dominasi A3 di jajaran pemerintahan IJB. Bupati Manokwari, Dominggus Mandacan, menyatakan bahwa suku Arfak akan mengirim sinyal pertumpahan darah ke Sorong jika PBD terbentuk, karena PBD akan mencaplok wilayah Teluk Bintuni yang menurut Mandacan adalah wilayah kekuasaan suku Arfak (Fajar Papua, Sabtu 30 Desember 2006)
  b.. Memperpendek rentang kendali keamanan. Selalu dikatakan oleh para pejabat lokal maupun pusat bahwa pemekaran papua adalah dalam rangka memperpendek rentang kendali pembangunan. Namun bisa dipastikan bahwa pemekaran dan pembentukan daerah administratif baru akan diikuti dengan pembentukan instansi militer mulai dari propinsi hingga distrik. Bagi Papua, institusi militer dan pendekatan keamanan adalah masalah yang sangat besar, terutama bagi penduduk aslinya. Droping pasukan anorganik akan semakin banyak, dan sampai-sampai  Cornelis Lay mengatakan; ibaratnya 1 orang Papua akan dijaga oleh beberapa tentara sekaligus.
  c.. Memperpendek jalur birokrasi intensifkan pelayanan terhadap modal. Memperpendek rentang kendali pembangunan, juga berarti memangkas jalur birokrasi dan pelayanan pemerintah terhadap rakyat. Namun dipastikan Papua ke depan akan semakin banjir investasi, terutama perusahaan-perusahan pemburu bahan mentah mulai dari kayu, bahan tambang, dan isi lautan, terus masuk hingga jauh ke wilayah-wilayah yang belum terambah. Pemekaran wilayah Papua juga berarti memangkas birokrasi sehingga pelayanan terhadap investasi akan semakin efisien. Ini adalah hal yang sangat dikehendaki oleh kaum modal, karena halang rintang terhadap investasi dan cost akan semakin mengecil. Undangan simpatik terhadap para pemodal pun diteriakkan keras-keras, misalnya seperti yang dilakukan oleh para deklarator Papua Selatan yang mencanangkan 2007 sebagai tahun investasi yang ditandai dengan pelepasan tanah-tanah adat beberapa suku di Merauke (Cendrawasih Pos, 13 Pebruari 2007).
  d.. Membanjirnya Migran dari luar Papua. Daerah baru membutuhkan jumlah penduduk yang memadai untuk dapat memenuhi syarat pemekaran. Penduduk papua saat ini terbilang sangat kecil (2,4 juta orang) dibandingkan luasan wilayah yang mencapai 422.981 km2 (berarti 6 orang per km2). Berhembus issu bahwa program transmigrasi ke Papua akan dihidupkan kembali untuk meramaikan wilayah-wilayah yang akan dan baru terbentuk. Kedatangan penduduk baru ini juga dipicu oleh munculnya investasi-investasi baru di seluruh bumi Papua. Dapat dibayangkan, penduduk asli Papua yang saat ini mayoritas seperti terasing di negerinya sendiri, akan semakin memburuk posisinya. Kita bisa melihat sejarah peminggiran dan musnahnya penduduk asli di Canada, Amerika, Australia, dan Selandia Baru.
Implikasi pemekaran yang sekarang bisa dilihat adalah terjadinya konflik perebutan sumber daya alam antar propinsi, kabupaten, distrik dan kampung. Contoh : Teluk Bintuni yang kaya bahan tambang, dijadikan obyek rebutan antara IJB dan PBD. Sementara itu sumur gas yang dikelola BP tangguh di perbatasan Aranday-Inanwatan mulai menimbulkan konflik antara pemerintah kabupaten Sorong Selatan dan Teluk Bintuni. Secara khusus konflik tanah di bintuni (lokasi eksploitasi tambang gas) oleh British Petrolium dengan masyarakat adat di Saengga, Tanah Merah dan sekitarnya.


Hal yang sama juga terjadi antara Kabupaten Sorong dengan Kabupaten Raja Ampat soal Sumber Minyak di Salawati, saat ini Salawati diklaim oleh Kabupaten Sorong masuk dalam wilayah administrasinya. Sementara itu masyarakat adat setempat mulai protes dan ingin bergabung dengan Kabupaten Raja Ampat karena mereka menganggap Salawati adalah merupakan pulau dan masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Raja Ampat. Konflik sementara dalam proses penyelesaian yang difasilitasi oleh DPRD Provinsi Irian Jaya Barat/Papua Barat (Radar Sorong, 20 Maret 2007). Buntut dari konflik ini setelah difasilitasi oleh Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi Papua barat (18/3/07) bupati dan ketua DPRD Kabupaten Sorong tidak hadir dalam proses penyelesaiaan konflik tersebut . (Saya sangat menyesalkan mengapa mereka tidak hadir, Tapi mudah-mudahan ini bukan merupakan pelecehan". Ketidak hadiran Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Sorong dalam pertemuan penyelesaian masalah Salawati dianggap oleh Gubernur sebagai merupakan upaya mempertahankan Salawati tetap masuk dalam wilayah administratif kabupaten sorong demikian pernyataan Gubernur) (Radar Sorong,20 Maret 2007)

Konflik antar pemerintah kemudian merembes kepada kehidupan masyarakat dimana saling mengklaim tanah adat antar masyarakat pemilik hak ulayat saat ini terus berlangsung di Papua (kasus Bandara Sorong Daratan/Bandara DO. Osok) saat ini masih menjadi masalah antara masyarakat pemilik hak ulayat dengan pihak Pemerintah Kabupaten-kota Sorong dan berbagai contoh konflik lain terus menerus masih terjadi di Tanah Papua.

Perkembangan Politik Wilayah Kepala Burung Provinsi Papua Barat, sedang menjurus pada konflik yang disebabkan oleh masalah Pemerintahan ( Pilkada, batas wilayah administratif antara Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat, gencarnya pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat Daya), masalah sumberdaya alam (ilegal loging, ilegal fishing, perkebunan kelapa Sawit, pembebasan tanah adat untuk pembangunan instalasi TNI AL) Perebuatan kekuasaan pengamanan antara TNI dan POLRI di Bintuni, Sorong, Raja Ampat, Sorong Selatan.(Proton)

http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/artikel.php?aid=23452

Tidak ada komentar:

Posting Komentar