FILM DAN FUNGSI SOSIAL
Sebagai seorang penikmat film nasional, rasanya bangga melihat perkembangan perfilman nasional belakangan. Kreasi sineas nasional tak hanya membanggakan di dalam negeri tetapi pengakuan juga diberikan dunia internasional melalui penghargaan yang diberikan bagi sineas nasional. Kondisi macam ini sangat jadi adalah indikasi kebangkitan perfilman nasional. Meski harus diakui apresiasi publik terhadap karya perfilman nasional belum cukup optimal untuk membangun sebuah iklim perfilman yang baik.
Dalam konsepsi umum film merupakan media hiburan bagi penikmatnya, tapi dalam kenyataannnya film juga memiliki fungsi sosial, seperti yang diungkapkan Karl Manheim bahwa siaran televisi, film, dan media lain yang melibatkan khalayak dapat menimbulkan apa yang dirumuskan Manhein sebagai publik abstrak, meski publik abstrak tidak terorganisir, tapi reaksi terhadap stimulus yang sama yang diberikan melalui media diatas, akan bersesuaian dengan konsep integrasi sosial (Soejono Soekanto : 1985). Dari sana ternyata kita bisa melihat film tidak sekedar sebagai sebuah karya seni yang lantas bersama-sama kita nikmati, lebih dari itu film juga dapat dilihat sebagai sebuah bangunan sosial dari masyarakat yang ada dimana film itu diciptakan. Maka, kita kemudian dapat menarik sebuah benang merah bahwa film juga memiliki fungsi sosial.
Berbicara mengenai fungsi sosial film, kita tentu tak dapat melepaskan diri dari realita sosio-kultural yang mengitari film tersebut. Dalam konteks Indonesia kekinian, sebuah masalah besar yang dihadapi bangsa adalah, mulai hancurnya integrasi sosial, seperti diungkapkan Imam Prasodjo, bahwa kerekatan sosial (social bond) bangsa ini tengah berada pada titik terendah (2000).
Dari sketsa perfilman nasional dua-tiga tahun terakhir fungsi film sebagai media membangun integrasi sosial telah nampak, dapat kita lihat dalam film karya Garin Nugroho (Aku Ingin Menciummu Sekali Saja) atau film nasional terbaru (Biola dak berdawai). Dalam film-film tersebut nampak jelas bahwa film mencoba membangun kesadaran kolektif bangsa ini untuk mau dan sanggup mengakui pluralitas.
Maka, secara tidak langsung sudah tercapai kesepakatan bahwa film memang memiliki fungsi sosial yang cukup besar. Apalagi konon, film merupakan karya estetika yang memiliki bahasa universal, dimana audience tersebar melintasi lorong-lorong ideologis, agama, suku dan ras. Peluang film menjadi sarana membangun integrasi sosial menjadi sangat terbuka, apalagi ketika publik saat ini tengah meragukan institusi resmi bentukan negara.
Kemudian pertanyaan yang muncul apakah fungsi sosial film ini akan membebani para sineas Indonesia dalam melahirkan ide. Rasanya kebebasan ekspresi atau juga dimensi estetik dalam film tidak harus dipertentangkan dengan dimensi sosial film, karena keduanya merupakan hal yang inheren. Karena saya yakin, para pekerja film di negeri ini, apalagi para darah muda yang punya energi idealis memiliki sense of belonging terhadap bangsa ini, dan ketika bangsa membutuhkan sentuhan mereka guna membangun kembali integrasi sosial, tentu saja mereka akan menjadikan itu sebagai salah satu bagian penting dalam aktivitas mereka berkarya.
Selamat Tinggal Film Kacau
Selama rentang waktu dua dasawarsa tertidurnya perfilman nasional, film-film yang muncul film dengan kualitas yang rendah, tema yang diusung tak jauh dari ranjang dan setan. Bisa jadi publik menyambut film semacam itu dengan tangan terbuka, tapi saya melihat sambutan publik lebih disebabkan karena memang tidak ada pilihan tontonan, film yang muncul film seperti itu maka mau tak mau film itu yang dikonsumsi, kita mencatat ketika muncul Daun di Atas bantal publik menyambut dengan sangat antusias. Mengapa kami mengambil Daun di atas bantal, karena film inilah yang menjadi salah satu pendobrak lesunya perfilman nasional ketika itu.
Masa kejayaan film kacau sudah harus ditinggalkan, apalagi film-film tersebut ditinjau secara sosiologis hanya akan memberi stimulus negatif bagi publik. Lihat saja banyaknya kasus perkosaan yang ditimbulkan oleh film-film berbau ranjang tadi. Dengan munculnya film nasional dengan kualitas yang memadai secara berlahan akan menggeser paradigma penikmat film yang semula menjadikan film sekedar memiliki fungsi rekreatif menjadi paradigma yang menjadikan film memiliki fungsi ganda, fungsi sosial dan fungsi rekreatif.
Ada juga sebuah fenomena menarik dalam perfilman nasional saat ini, masih hadirnya film nasional yang berbau setan seperti Jelangkung atau yang akan menyusul Tusuk Jelangkung, tapi yang kini hadir adalah usaha merasionalkan keyakinan tradisonal seputar dunia klenik tersebut. Aspek tonjolan dalam film-film berbau setan tersebut lebih pada usaha elaborasi spiritual yang rasional ketimbang sekedar penekanan pada aspek keseraman dan ketegangan film. Kondisi-kondisi di atas menguatkan keyakinan bahwa masa kejayaan film-film kacau akan segera berlalu.
Film-film nasional saat ini juga memperlihatkan ada usaha menjadikan publik penikmat sebagai subjek bukan sekedar objek film, dimana proses dialektis antara penikmat film dan pekerja film diusahakan untuk berlangsung. Baik pada saat film akan diproduksi maupun pasca produksi, proses macam ini harus terus dilakukan jangan sampai kesalahan yang menimpa Pearl Harlbour yang notabene adalah film sejarah malah mengesampingkan fakta sejarah juga terjadi pada film nasional.
Merumuskan Fungsi Sosial Film
Bila kita mau merujukkan dunia film nasional dengan kondisi sosio-kultural masyarakat kita, maka ada beberapa tawaran fungsi sosial yang bisa diperankan film sebagai media stimulus.
Pertama, film sebagai media pelurusan sejarah, seperti kita ketahui sejarah bangsa ini menjadi sangat tidak jelas akibat banyaknya sejarah yang diciptakan penguasa dan salah satu media pereduksian sejarah dilakukan melalui film, meskipun tugas meluruskan sejarah bukan menjadi tanggung jawab sineas saat ini, tapi paling tidak ada beban untuk mencoba melakukan eksplorasi historis bangsa ini, mengingat film adalah media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan.
Kedua, film harus ikut serta membangun integrasi sosial bangsa ini yang disebut-sebut tengah berada di tepi jurang, meski mungkin isu-isu seputar integrasi sosial isu yang tidak terlalu menarik untuk dijadikan bahan film, tapi tanggung jawab membangun kembali integritas sosial adalah tanggung jawab kita bersama, salah satunya adalah dunia perfilman nasional. Film harus mampu menjadi jembatan dalam dialog pluralitas di negeri ini, ada baiknya film mampu menjelaskan pluralitas di negeri ini dalam bahasa yang mudah dipahami hingga esensi integrasi sosial dapat terbangun melalui kesadaran yang dimediasikan oleh film.
Ketiga, film harus ikut dalam proses demokratisasi di negeri ini, peran sebagai campaign media untuk kelangsungan proses demokrasi dapat diperankan oleh dunia film nasional, film diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai demokrasi ke audience.
Fungsi-fungsi tambahan bagi film nasional di atas tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas para sineas dalam berkarya, fungsi-fungsi tersebut merupakan fungsi yang muncul secara natural, sebagai bentuk persinggungan antara dunia film nasional dengan realitas sosio-kultural-politik bangsa ini. Jadi, sangat tidak beralasan jika fungsi sosial film dianggap menjadi beban bagi pekerja film di Indonesia.
Akhirnya proses dialog antara film sebagai bangunan tersendiri dimana aspek estetik menjadi pusat dengan kondisi sosio-kultural-politik lingkungan yang mengitarinya, maka waktulah yang akan menjawab segala harapan-harapan pada perfilman nasional dalam memainkan fungsi-fungsi sosialnya.
Semoga perfilman nasional mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bisa dibanggakan sebagai produk original anak negeri.
COUNTDOWN TO PEACE :
Masa Depan Perdamaian AS-Irak
Satu minggu sudah pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat bergerak membombardir Irak. Di sisi lain pasukan militer dan rakyat Irak berjuang mati-matian mempertahankan tiap jengkal tanah mereka. Tak ada tanda-tanda pertempuran akan berakhir, di sana sini demo anti perang terus berlangsung, akhir pekan bukan saat untuk liburan tapi saat berunjuk rasa. Banyak yang pesimis bahwa perang ini akan segera berakhir, para aktivis perdamaian dunia mensinyalir bahwa korban mayoritas dari perang teluk jilid II ini adalah masyarakat sipil yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan, meski angka resmi mengenai korban perang ini belum jelas terungkap, tapi paling tidak indikasi ke arah itu cukup besar. Dapat kita lihat dari siaran beberapa stasiun televisi baik internasional maupun nasional yang menunjukkan banyaknya korban sipil.
Biaya kemanusiaan yang lahir dari perang ini memang luar biasa, selain ancaman kematian, kelaparan, penyakit menular, ada satu bahaya besar yang kini mengancam dunia, tumbuhnya semangat untuk saling membenci. Pendapat yang dikemukakan Samuel Huntington dalam Class of Civilization seolah mendapat pembenaran dari perang yang berkecamuk ini. Dunia kembali akan berada dalam blok-blok seperti masa perang dingin, hanya saja blok-blok tersebut terbentuk bukan lagi karena faktor ideologis melainkan lebih pada faktor peradaban yang dianut. Barat di satu sisi dan Islam di sisi lain menurut Huntington akan menjadi dua poros kekuatan dunia nantinya. Biarlah thesis Huntington itu akan mengalami pembuktian melalui perjalanan sejarah, yang jauh lebih penting saat ini adalah membangun sebuah kondisi yang bisa mempercepat berakhirnya perang.
Tragedi kemanusiaan ini harus segera berakhir, jika tidak akan sangat fatal akibatnya bagi kemanusian, untuk melakukan analisa seperti apa mengakhiri perang ini, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa realitas awalan. Realitas awalan ini nanti akan digunakan membangun asumsi prospek perdamaian.
Pertama, ada hal menarik yang disampaikan Bush ketika mengetahui prajurut AS yang ditawan tentara Irak disiarkan televisi Irak. Bush langsung menuding Irak melanggar Konvensi Jenewa tahun 1950 (Kompas, 25 Maret 2003), tetapi apakah Bush ingat bahwa iapun telah melanggar kesepakatn bersama dalam sidang PBB, yang menginginkan agar perang dihindarkan. Tetapi Bush memilih jalan unilaterar. Di lain sisi, Saddam Husein meneriakkan pada rakyat dan tentaranya bahwa mereka akan segera memenangkan perang (kompas, 25 Maret 2003). Tragedi kemanusiaan ini memberi sinyal pada dunia bahwa lembaga perdamaiaan internasional (PBB) kehilangan fungsi atau dengan kata lain PBB bukan lagi badan dunia yang sakral, PBB telah sekarat. Ini kondisi pertama.
Kedua, AS ternyata pihak yang tak bisa diajak kompromi dalam menyelesaikan pelucutan senjata berbahaya Irak, apa yang dilakukan PBB dengan inspeksi lapangan terhadap kemungkinan adanya senjata pemusnah massal di Irak ternyata diabaikan AS, terlepas dari apakah AS memiliki kepentingan khusus dalam misinya kali ini, kita bisa melihat AS tak mengindahkan seruan dunia melalui PBB, sampai sesaat sebelum perang dimulai AS secara penuh hanya didukung tiga negara, Spanyol, Australia dan Inggris. Tiga negara tersebut memang yang resmi, bila kita hitung kembali maka masih ada Israel, Kuwait, Turki, Jepang dan beberapa negara lain yang mendukung baik secara langsung maupun diam-diam. Namun disisi lain AS berseberangan dengan puluhan bahkan ratusan negara lain terutama negara-negara yang tergabung dalam liga arab dan gerakan non blok. Maka dapat kita katakan perasaan mentang-mentang (dumeh) AS begitu kuat, selama ini kementang-mentangannya tertutupi dengan predikat sebagai negara pengawal hak azasi manusia (HAM), tapi agresi mereka ke Irak tanpa sebab jelas menguatkan analisa bahwa AS memang negara yang sewenang-wenang. Ini adalah realitas awalan kedua.
Ketiga, ada usaha dari pihak-pihak tertentu baik dalam skala global maupun lokal (di tingkatan negara-negara) yang mengarahkan opini publik bahwa pertikaian ini merupakan pertikaian antar agama (peradaban), memang sebuah kebenaran bahwa Irak adalah negara bependuduk muslim dan secara kebetulan pula Irak dalam konstruksi sejarah Islam memiliki signifikasi yang kuat, hingga ketika Irak mendapat serangan tanpa sebab dari AS, secara psikologis umat muslim di dunia merasakan penderitaan. Ini terbukti dari banyaknya aksi solidaritas kelompok muslim di banyak negara. Tapi, tak ada alasan kuat untuk menyatakan perang Irak sebagai pertikaian antar agama (peradaban). Ini adalah realitas awalan ketiga.
Keempat, ada kondisi yang sebenarnya merupakan realitas tapi sering dianggap sekedar rumor, kondisi tersebut tak lain bahwa perang ini terjadi lebih disebabkan faktor ketidaksenangan George W. Bush terhadap Saddam Husein. Bila kita mau mencermati banyak indikator yang mengindikasikan hal ini, antara lain ultimatum Bush kepada Saddam untuk meninggalkan Irak bersama anaknya dan ultimatum ini dijawab tegas oleh Saddam bahwa ia tak akan meninggalkan Irak, yang pada akhirnya kondisi ini menjadi picu terakhir perang, kemudian adanya isu yang menyebutkan AS telah mempersiapkan peralihan kekuasaan dari tangan Saddam, dua hal tersebut sudah cukup mengindikasikan bahwa Bush dan AS umumnya tidak menyukai Saddam memimpin Irak. Ini realitas awalan yang keempat.
Hitung Mundur Menuju Damai
Dari tiga realitas awal tersebut kita bisa melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan dunia untuk mencegah perang, yang selanjutnya bisa dijadikan pijakan dalam menentukan strategi menuju perdamaian.
Refleksi pertama, beranjak dari realitas awalan pertama, dimana lembaga resmi dunia tidak lagi memiliki urgensi dalam mencegah konflik terbuka, hal ini bisa jadi disebabkan terlalu lunaknya PBB dalam mengontrol kondisi potensial konflik dengan aktor utama negara, kelunakan ini semakin terasa ketika PBB menghadapi aktor berupa negara-negara besar, terutama negara pemegang hak veto. Sebab kedua bisa jadi disebabkan terlalu besarnya ketergantungan PBB terhadap negara-negara besar dunia, terutama menyangkut finansial dan sebab ketiga sangat mungkin konsolidasi kekuatan pro-perdamaian di dalam PBB tidak berlangsung baik.
Dari kondisi kausalitas di atas, maka wajar saja bila PBB kehilangan urgensi fungsi dalam menjaga perdamaian dunia. Untuk itu dalam perspektif jangka pendek yang harus dilakukan PBB adalah memberikan sanksi keras terhadap negara agresor, paling tidak sama kerasnya dengan sanksi yang pernah dikeluarkan PBB kepada Irak, ketika Irak menginfasi Kuwait. Pemberian sanksi ini dimaksudkan untuk mengangkat citra PBB di mata negara anggota yang terlanjur kecewa terhadap PBB. Selanjutnya, PBB harus berusaha mendorongkan proses penyelesaian masalah mengenai senjata pemusnah massal Irak kembali ke jalur semula dimana kordinasi penuh berada di tangan dewan keamanan PBB.
Kemudian dalam perspektif jangka panjang, dengan mempertimbangkan sejarah perjalanan PBB dan fungsi-fungsi DK PBB yang mengalami bias antara fungsi menjaga perdamaian dunia dan melindungi kepentingan negara besar, terutama AS dan Inggris. Maka, perlu dilakukan telaah ulang mengenai hak veto yang selama ini dimiliki lima negara (AS, China, Rusia, Inggris dan Perancis), dan menganalisa kemungkinan ditambahnya anggota tidak tetap DK PBB. Kedua usulan di atas terkait sepenuhnya dengan perasaan kesamaan (equality) dalam DK PBB.
Refleksi kedua, beranjak dari kondisi bahwa AS dan Irak sulit dikompromikan menyangkut kecurigaan dunia internasional mengenai adanya senjata pemusnah massal di Irak, maka ada dua benang merah yang bisa ditarik. Pertama, Irak harus dengan jujur dan penuh kesungguhan memberikan kesempatan pada dunia internasional untuk membuktikan bahwa tuduhan yang dituduhkan kepada mereka tidaklah benar, bila ternyata Irak tidak mengindahkan instruksi ini maka barulah Irak halal di serang, bila nantinya di Irak ditemukan senjata pemusnah massal, Irak harus rela memusnahkan senjata tersebut. Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui Amerika Serikatlah yang memotori isu senjata pemusnah massal itu, maka ASpun harus ditekan untuk membiarkan proses inspeksi dilakukan secara sistematis dan objektif, jika hal ini tidak diindahkan PBB harus dengan tegas memberi sanksi pada AS.
Kemudian yang jadi masalah, hal-hal diatas baru bisa dilaksanakan bila PBB powerfull tidak powerless seperti saat ini, maka yang harus dilakukan adalah mengkonsolidasikan semua kekuatan pro-perdamaian di seluruh dunia, untuk mem back up usaha-usaha sistematis PBB. Sebuah keniscayaan, bahwa kolektivitas bangsa-bangsa di dunia akan menghasilkan sebuah hal yang berarti bagi perdamaian dunia.
Refleksi ketiga, beranjak dari kondisi bahwa ada pihak-pihak yang mengarahkan isu perang ini menjadi isu konfli antar agama (peradaban), maka harus dilakukan usaha sistematis oleh semua negara di dunia untuk menjelaskan kepada rakyat di negara masing-masing bahwa perang Irak bukanlah perang antar agama, langkah-langkah pelurusan opini publik menjadi sangat penting, guna menghalau kemungkinan meluasnya konflik.
Refleksi keempat, bila konlik Irak ini sebagian besar disebabkan oleh faktor individu (big-man theory) maka perlu dilakukan penyelesaian dengan pendekatan individual pula. Bush dan Saddam sebagai aktor utama adalah subjek masalah, dunia internasional perlu dapat menggunakan mediator bagi Bush dan Saddam untuk saling merundingkan hal-hal yang menyebabkan Bush (AS umumnya) tidak menyukai Saddam. Memang tidak mudah, tapi sekali lagi usaha-usaha tersebut tetap berada dalam tekanan PBB melalui sanksi-sanksi yang tegas.
Masa depan perdamaiaan dari krisis Irak ini sangat ditentukan salah satunya oleh bagaimana DK PBB merevitalisasi fungsi dan peran, juga bagaimana konsolidasi kekuatan pro-perdamaian di dunia memperkuat kolektivitas guna menekan pihak-pihak yang kini berkonflik.
Realita memang tak selalu sejalan dengan harapan, tapi tanpa harapan tentu tak ada perbaikan, karenanya di tengah kekalutan dunia yang luar biasa, energi harapan harus terus ditebar, krisis Irak adalah salah satu ujian atas komitmen bersama negara-negara dunia bagi kemanusiaan. Kini mari kita menghitung mundur menuju perdamaian.
sumber caterpilar1.tripod.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar