Politik dan Politik Hukum di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosiologi Politik
1. Dalam khasanah ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi politik pada khususnya, politik pada dasarnya adalah sebuah konsep yang amat luas cakupannya. Konsep ini pada pokoknya menerangkan tentang bagaimana kekuasaan (power) dan sumber-sumbernya (resources of power) itu dialokasikan dan disistribusikan dalam sebuah masyarakat. Proses ini tidak selalu terjadi melulu atas dasar sebuah konsensus tetapi juga sering melalui kompetisi dan bahkan konflik atas dasar kombinasi pola “memperebutkan-mempertahankan” di antara partisipan konflik yang dapat berwujud individu, kelompok, golongan, atau lembaga. Di samping itu, konsep politik juga sangat terkait dengan beberapa konsep kunci lainnya seperti otoritas (authority), legitimasi (legitimacy), dominasi (domination), hegemoni (hegemony) dan kekuasaan paksa (coercive power).
2. Sumber-sumber kekuasaan yang dapat berbentuk posisi, jabatan, pengaruh, uang, dan kekayaan itu, di masyarakat manapun, secara relatif selalu bersifat terbatas. Ihwal inilah yang menyebabkan mengapa sejarah manusia selalu ditandai oleh pertikaian yang berdimensi politik. Walaupun wilayah pertikaian politik untuk memperebutkan (atau mempertahankan) sumber-sumber kekuasan itu juga terjadi di masayarakat (civil society), sangat penting di sini untuk dicatat bahwa negara (state) adalah pusat wilayah perebutan kekuasaan yang paling sengit karena di sanalah sumber-sumber kekuasaan terpenting untuk membuat keputusan publik itu terdapat.
3. Menurut ajarah Trias Politica yang di kemudian hari menjadi landasan pokok negara moderen, terdapat terdapat tiga cabang kekuasaan negara penting yang sama-sama telah kita kenal dengan baik itu: kekuasaan judisial, legislatif, dan eksekutif. Masing-masing cabang kekuasaan itu memiliki otoritas dan secara relatif memonopoli otoritas itu untuk menghasilkan (dan menggandakan) kekuasaan yang spesifik. Walaupun demikian, itu tidak berarti ketiga institusi pokok negara moderen itu tidak saling berinteraksi. Dalam beberapa keadaan, bahkan ketiga institusi itu mengembangkan hubungan kekuasaan yang secara inheren juga menyimpan prinsip saling ketergantungan.
4. Paradoks itu dapat dilihat di antaranya dalam ihwal yang sedang kita bicarakan di sini, yakni hukum. Pada tempat pertama, hukum adalah produk lembaga legislatif. Sebagai sebuah produk, pembuatan hukum yang berupa undang-undang dan dalam keadaan tertentu berupa konstitusi negara, selalu melibatkan proses-proses politik yang amat kompleks. Melalui perdebatan parlemen, sebuah rancangan produk hukum dibahas dalam sidang-sidang yang melibatkan elemen-elemen yang berbeda dalam sebuah parlemen, yakni partai politik. Dengan kata lain, pada dasarnya hukum yang paling dasar, yakni konstitusi negara dan undang-undang, adalah sebuah produk politik dari partai-partai politik dominan dalam sebuah parlemen. Memang, terdapat beberapa variasi tentang bagaimana sebuah produk hukum itu diselesaikan oleh lembaga legislatif. Namun, secara umum, wilayah ini pada pokoknya merupakan monopoli parlemen yang karena kewenangannya dalam menghasilkan produk-produk hukum pokok mendapatkan namanya dengan sebutan lembaga legislatif itu.
5. Ketika sebuah proses politik di parlemen itu berakhir dengan sebuah produk hukum berupa undang-undang (yang pengaturan penetapannya menjadi undang-undang di sebagian sistem politik membutuhkan persetujuan kepala lembaga eksekutif dan di sebagian sistem lainnya tidak), maka segera setelah itu hukum baru itu (tampak seperti “tiba-tiba”) menjadi sebuah aturan dasar yang mengikat semua lembaga negara dan individu, tak terkecuali lembaga yang menghasilkannya. Pengikatan diri secara penuh terhadap hukum yang berlaku tanpa kecuali ini, dalam negara moderen dikenal dengan ajaran tentang “supremasi hukum”. Ajaran ini pada dasarnya mendiktekan peneguhan atas nilai dan praktik “persamaan di depan hukum” yang mengakibatkan sebuah produk hukum, yang walaupun pada awalnya merupakan produk politik yang menyertakan juga proses-proses kompetisi dan rivalitas atas sumber-sumber kekuasaan, bersifat otonom (kadang bahkan “alien”) dan “self-evident” (mutlak dengan sendirinya).
6. Dalam prinsip semacam inilah, dasar-dasar terpenting tentang gagasan negara hukum itu diletakkan dalam negara moderen. Penegasan terhadap gagasan negara hukum itu memiliki pesan tunggal yang amat jelas, yakni tidak sebuah kekuasaan dapat memaksakan kehendak dan kepatuhan publik atas kehendak itu tanpa dilandasi oleh hukum yang berlaku—yang proses pembuatan dan penetapannyapun diatur oleh hukum yang telah dibuat sebelumnya, baik dalam kedudukannya yang lebih tinggi maupun yang setara. Pada tempat inilah prinsip “Rule of Law” ditegaskan untuk mencegah praktik terjadinya “Rule by Law” yang kerap menjadi dasar dari tegaknya prinsip yang di negeri ini dalam khasanah perbincangan para ahli hukum tatanegara sering disebut dengan negara kekuasaan (machtsstaat) sebagai lawan dari negara hukum (rechtsstaat)
7. Hukum yang bersifat dasar dan mengikat semua pihak itu sesungguhnya merupakan tulisan bahkan kertas belaka apabila tidak ditegakkan. Pada tempat kedua inilah, di mana-mana, hukum membutuhkan lembaga “law enforcement”. Dalam konteks inilah, lembaga eksekutif melalui aparatus khususnya mengemban tanggung jawab utama untuk menegakkan apa yang diperintahkan hukum untuk dilakukan atau tak dilakukan, untuk diindahkan atau dilarang. Mengikuti ajaran Trias Politica, lembaga eksekutif karena itu kepadanya diembankan kewajiban untuk memastikan hukum tak hanya menjadi tulisan atau kertas belaka. Birokrasi penegak hukum yang utama dalam negara moderen adalah polisi. Melalui proses evolusi yang panjang, dalam negara moderen yang berasas negara hukum itu, lembaga kepolisian memiliki tugas yang paling pokok: yakni penegakan hukum (law enforcement).
8. Tidak sebuah lembaga manapun dalam cabang eksekutif maupun kedua cabang lainnya, yakni lembaga legislatif dan judisial, pada asanya memiliki otoritas yang penuh untuk menegakkan hukum. Pikiran tersederhana dalam prinsip “law enforcement” adalah pentingnya semua orang mematuhi hukum guna terciptanya ketertiban sosial dan keamanan umum yang sering juga disebut dengan istilah “social order and public safety”. Tegaknya kepatuhan orang pada hukum, dalam ajaran ini, dipercaya sebagai dasar untuk menciptakan sebuah kehidupan bersama yang memungkinkan pencapaian tujuan individual dan kolektif berikut segala perbedaan yang menyertainya dapat dilakukan tanpa dampak yang bersifat destruktif bagi kedidupan bersama yang berkelanjutan itu. Masih mengikuti ajaran ini, tanpa aturan bersama yang dipatuhi oleh publik, masyarakat akan menghasilkan anarki yang pada ujung-ujungnya akan menciptakan kehidupan bersama yang hancur dan atau menghancurkan.
9. Dalam mana telah terjadi, atau sekurang-kurangnya patut diduga sebagai berkemungkinan telah terjadi, pelanggaran hukum, polisi berkewajiban melakukan serangkaian tindakan: mulai dari penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan saksi dan atau pencarian bukti hingga pemberkasan. Mandat ini bersifat otonom dan penuh. Artinya, walaupun berada di wilayah jursdiksi lembaga eksekutif, dan bukan, dan tidak pernah, dan tidak akan pernah, berada di bawah kedua cabang kekuasaan legislatif dan judisial, lembaga kepolisian tidak tunduk dan atau berada di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif dalam melakukan fungsi penegakan hukum selain dari hukum itu sendiri. Walaupun mungkin tampak mengandung paradoks, beginilah memang sesungguhnya ajaran negara hukum yang sejati. Pengaruh kekuasaan eksekutif atas kewajiban menegakkan hukum yang kewenangannya diberikan pada lembaga kepolisian tidak lain dan tidak ada yang lain selain menegakkan hukum itu sendiri.
10. Fungsi universal lainnya yang melekat pada lembaga kepolisian dalam kerangka penegakkan hukum demi terjadinya “social order dan public safety”—yang di Indonesia sering secara awam diringkas menjadi “ketertiban umum” itu (atau dalam terminologi Polri sering juga disebut dengan Kamtibmas)—adalah menjalankan fungsi-fungsi patroli (patroling), pengaturan lalu lintas (traffic), dan penyelidikan kejahatan (crime investigation). Hanya setelah paruh kedua abad yang lalu saja, lembaga kepolisian di banyak negara menambahkan juga fungsi antihuru-hara. Apa yang saya hendak katakan di sini tidak lain adalah, semua fungsi itu dilekatkan pada lembaga kepolisian untuk tujuan penciptaan tertib sosial dan keamanan publik.
11. Dalam tema yang serupa, lembaga eksekutif juga mengemban amanat sebagai lembaga penuntut perkara hukum ketika telah terjadi pelanggaran yang telah dikuatkan oleh bukti dan saksi yang oleh hukum dinyatakan sebagai telah memenuhi syarat bagi dilakukannya penuntutan. Lembaga kejaksaan adalah aparatus birokrasi penegak hukum yang berada di bawah jurisdiksi kekuasaan eksekutif. Sama dengan prinsip otonomi dan sifat yang penuh yang dimilki lembaga kepolisian itu, mandat lembaga kejaksaan tidak berkurang atau dapat dikurangkan oleh kenyataan bahwa lembaga ini berada di bawah jurisdiksi lembaga eksekutif. Sebagai penegasan tambahan, pengaruh lembaga eksekutif pada lembaga kejaksaan tidak lain dan tidak ada yang lain selain melakukan penuntutan berdasarkan hukum yang berlaku dan mengikat semua orang dan lembaga itu.
12. Cabang kekuasaan judisial yang meliputi otoritas penyelenggara sistem peradilan dan di beberapa negara juga merangkap sebagai lembaga penilai undang-undang dan atau peraturan di bawahnya (judicial reviewer) serta mahkamah penyelesai sengketa konstitusional, adalah satu cabang kekuasan dalam negara hukum yang memiliki otonomi untuk membuat keputusan akhir atas perkara hukum melalui sebuah sistem persidangan yang bertingkat. Cara bekerja lembaga ini adalah memutus perkara hukum (atau konstitusi) berdasarkan bunyi pasal-pasal hukum yang berlaku, dan, bila mana diperlukan, atas keyakinan hukum para hakimnya. Dalam jargon dan retorika hukum, lembaga ini sering juga disebut sebagai lembaga pemutus keadilan. Walaupun sebagai lembaga ia bersifat otonom, para hakim agungnya (begitulah mereka sering disebut) dipilih dan diangkat melalui proses politik jua. Sekurang-kurangnya, proses itu melalui pembahasan di cabang kekuasaan lainnya: lembaga legislatif dan atau lembaga eksekutif. Inilah gambaran paradoks yang di bagian awal tulisan ini telah saya singgung. Di satu pihak, mereka adalah lembaga yang memiliki otonomi dalam otoritas mereka masing-masing, di pihak lain mereka saling mempengaruhi melalui proses politik. Itulah potret hukum yang dalam satu sisinya digambarkan sebagai bersifat objekltif (karena sifatnya yang mengikat semua pihak) dan di sisi yang lain ia tidak terisolasi oleh proses politik yang dalam hasrat intinya berbicara tentang kekuasaan: tentang siapa mendapat apa, berapa banyak, di mana, dan kapan.
13. Keadilan adalah sebuah tema lain yang tidak kurang absurdnya. Sebagai konsep, keadilan memiliki dimensi yang ragam: teologi, filsafat, hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya. Dalam konteks hukum, berkembang kepercayaan yang sesungguhnya agak berbau mitos, dan sering kali juga sedikit menyesatkan. Dalam bayangan banyak orang di negeri ini, keadilan adalah sebuah konsep dan praktik yang sepenuh self-evident dalam wilayah hukum berikut seluruh instrumen, atribut, simbol dan asesorisnya. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, sekurang-kurangnya dalam perspektif sosiologi politik dan sosiologi hukum, ajaran tentang keadilan yang dipuja dalam hukum itu mengandung banyak masalah. Apa itu keadilan?: siapa yang mendefinisikan sesuatu sebagai adil atau tidak?; keadilan menurut perspektif ruang dan waktu yang mana? Itu semua adalah sebagian pertanyaan dasar yang sangat rumit penjelasannya.
14. Dalam ajaran hukum positif, dalam praktiknya hukum sesungguhnya bergumul dengan tema kepastian hukum, bukan keadilan hukum. Keadilan hukum adalah sesuatu yang dominan dalam perbincangan tentang filsafat hukum dan politik hukum. Tema-tema ini dibahas sebagai wacana akademik oleh para sarjana hukum di klas-klas di perguruan tinggi. Para praktisi hukum yang meliputi polisi, jaksa, hakim, dan para penasihat dan pembela hukum, bergumul dengan apa yang tertulis dalam kitab undang-undang, bukan pada prinsip-prinsip abstrak yang memenuhi buku-buku teks pengajaran hukum dan ilmu hukum. Dengan kata lain, para praktisi hukum sangat terikat dengan apa yang ditulis dalam hukum positif, bukan dalam hukum yang diiedealkan oleh para sarjana dan ilmuwan hukum lainnya. Dalam ajaran hukum positif, sangat jelas apa yang dianggap hukum dan bukan. Yang disebut pertama selalu terdapat dalam undang-undangan dan peraturan lainnya, sekurang-kurangnya termaktub di dalamnya secara implisit. Apa yang tidak tertulis dalam undang-undang, bukanlah hukum positif betapapun itu dipercaya sebagai harus dan atau idea dan atau adil oleh banyak orang. Karena itu menilai sebuah keputusan hukum sebagai adil atau tidak adalah sebuah pekerjaan yang mungkin berguna bagi banyak orang termasuk ahli hukum, ahli ilmu politik, atau bahkan para politisi, tetapi tidak untuk para praktisi hukum yang bekerja dalam kerangka ajaran hukum positif.
15. Dalam perbincangan yang sedikit berbeda, tema tentang “rasa keadilan masyarakat” yang diangkat dalam seminar ini adalah sebuah konsep penuh makna subjektif yang definisi dan elemen yang dilekatkan kepadanya sangat bergantung pada wacana yang saling berkompetisi. Sebagai sebuah wacana (teoretik atau sosial), keadilan atau rasa keadilan masyarakat itu sangat bergantung pada kepentingan, teori, atau perspektif mereka yang mendefinisikan ihwal itu. Belum lagi, definisi tentang “masyarakat”, atau “rakyat” itu juga memiliki wacananya sendiri. Dengan kata lain, tema “keadilan”, “rasa keadilan”, “rasa keadilan masyarakat” adalah sebuah konstruksi sosial yang di dalamnya juga menyertakan proses-proses politik dan akumulasi pengetahuan yang sangat berimplikasi pada kekuasaan dan relasi kompleks di antara elemen-elemen yang membentuk struktur kekuasaan. Karena itu, perbincangan tentang “rasa keadilan masyarakat dalam hukum” adalah sebuah perbincangan politik betapapun itu berselimutkan teori dan perspektif yang dikemas dan diajukan sebagai naskah akademis.
16. Dalam pemikiran seperti itulah, perbincangan tentang hukum sungguh memang tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang politik dan kekuasaan. Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak hukum. “Ketertiban sosial dan keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam penegakan hukum juga mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu. Dengan kata lain, selalu ada rasionalitas tertentu dalam hukum dan penegakannya. Penentuan prioritas dalam penegakan hukum oleh lembaga kepolisian karena keterbatasan anggaran dan jumlah personel misalnya, adalah sebuah contoh dari hadirnya proses seleksi atas sejumlah nilai. Pengutamaan penyelesaian perkara kasasi tentang perceraian di lembaga mahkamah agung, sebagai misal yang lain, adalah contoh tentang tak terisolasinya lembaga hukum dari pemihakan akan nilai-nilai tertentu.
17. Sebagai sebuah wacana sosial dan politik, rasa keadilan masyarakat itu secara spesifik sekurang-kurangnya merujuk pada tiga hal yang berbeda. Yang pertama berhubungan dengan substansi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa ada larangan atau perintah hukum untuk sesuatu dan tidak untuk yang lain. Contoh tentang hadirnya larangan impor pakaian bekas dan tidak hadirnya larangan truk bekas adalah sebuah ilustrasi yang memperlihatkan kecenderungan itu. Mengapa pada kasus yang pertama berkembang argumentasi semisal perlindungan industri garmen dalam negeri dan argumentasi kesehatan publik yang terkait dengan SARS? Sebaliknya, mengpa pada kasus yang kedua argumentasi perlindungan indusrtri otomotif dan atau perlindungan keselamatan publik di jalan raya tak muncul?
18. Yang kedua berhubungan dengan implementasi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa sebuah ketentuan hukum pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama yang lain ihwal itu tak dikerjakan. Pemberlakuan tahanan rumah selama pemeriksaan pada kasus tindak pidana korupsi tertentu dan tidak pada kasus yang lain adalah salah satu contoh yang kerap dipakai untuk memperlihatkan betapa absurdnya tema tentang keadilan hukum itu. Contoh yang mirip juga dapat ditemukan pada kasus di mana pelaku white colar crime cenderung mendapat perlakuan yang berbeda dengan pelaku blue colar crime selama pemeriksaan hingga semasa terhukum berada dalam lembaga pemasyarakatan. Yang ketiga berhubungan perbandingan relatif tentang sebuah keputusan hukum. Ihwal ini berhubungan dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik. Sebagai misal, mengapa putusan pengadilan pada kasus perampokan dan atau pencurian, sebutlah yang bernilai 50 juta rupiah, cenderung berakhir dengan putusan hakim yang lebih berat ketimbang pencurian uang negara yang bernilai milyaran rupiah. Contoh-contoh serupa dapat saja ditemukan untuk menghasilkan daftar yang lebih panjang. Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dalam perlakuan (treatment), kesempatan (opportunity) dan akses (access). Tema umumnya berhubungan dengan terjadinya pembedaan ketiga prinsip itu atas dasar status dan klas sosial, kepercayaan politik dan ideologi.
19. Sebagai penutup tulisan ini, saya hendak mengatakan bahwa perbincangan tentang hukum dan politik adalah sebuah tema yang walaupun saling berkait namun memiliki dimensi yang amat kompleks. Ketidaksederhanan hubungan di antara keduanya justru terletak pada berkembangnya kepercayaan bahwa kedua wilayah itu semestinya tidak bercampur meskipun dalam kenyataan sejarahnya sungguh memang selalu dan akan selalu demikian. Saya sendiri tidak sedang mengatakan bahwa hubungan itu selalu tampak jelas. Sebaliknya, saya ingin menegaskan bahwa hubungan di antara dua ihwal itu sungguh sangat subtle dan melibatkan delicate issues. Gampang dilihat tetapi tidak mudah membicarakannya, apalagi menelanjanginya. Pemilihan tentang siapa yang menjadi orang nomor satu di lembaga kepolisian atau kejaksaan misalnya, selalu mengundang pertanyaan politik. Jawabannya amat jelas, kedua lembaga ini sangat penting perannya dalam menentukan adakah sebuah produk hukum itu akan berhenti sekedar sebagai naskah hukum atau menjadi sebuah hukum yang hidup. Hanya dalam lingkungan pemerintahan yang relatif bersih sajalah proses penentuan kedua jabatan puncak itu secara relatif dapat dijauhkan dari pertimbangan politik yang berorientasi pada kekuasaan. Karena itu, projek (sebutlah begitu) yang bertujuan meminimalisasikan politik dari wilayah hukum akan sangat bergantung pada ihwal lainnya seperti usaha untuk menciptakan sistem politik dan hukum yang lebih tansparan dan akuntabel. Dengan cara itu kekuasaan akan lebih mudah untuk dikontrol pemanfaatannya. Semoga begitu adanya.
sumber :www.komunitasdemokrasi.or.id
Capitol Hill
18 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar