PEMUDA DI TENGAH REALITAS POLITIKInstrumen Pengabsah atau Instrumen Perubah
Oleh Armin Mustamin Toputiri
Oleh Armin Mustamin Toputiri
Era reformasi Indonesia, memberi andil dalam banyak perubahan tatanan bernegara (state) dan berbangsa (nation), terutama di bidang politik dalam kerangka bangunan sistem politik, yang ikut bersinggungan saling mempengaruhi perubahan tatanan budaya dan prilaku politik. Pemilihan umum dengan sistem multi partai misalnya --- selain Pemilu 1955 --- kembali diberlakukan pada pelaksanaan Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik. Dan pada Pemilu 2004, berdasarkan kebijakan KPU --- menurutnya peserta pemilu sebelumnya berjumlah besar --- jumlah partai politik diperkecil , yang kemudian hanya diikuti 24 kontestan.
Berdirinya partai politik --- dalam jumlah cukup banyak dibanding sebelumnya --- memberi dampak positif pada teraksesnya sejumlah kader-kader potensil untuk terlibat menjadi praktisi politik. Pada masa orde baru --- berdasarkan fusi partai1 --- hanya ada dua partai politik plus satu orsospol2 yang menjadi peserta pemilu, sehingga akses untuk terlibat didalamnya sangat terbatas dan tidak kondusif, dimana selama tiga dasawarsa sistem politik menjadi carut-marut akibat rekayasa politik orde baru yang memberlakukan sistem kepartaian hegemonik (hegemonic party system).3 Saatnnya di era reformasi sekarang ini, kader-kader potensil saatnya memiliki ruang lapang dan sudah tersedianya wadah untuk dapat mengartikulasikan gagasan-gagasan dan pemikiran politiknya, untuk membangun tatanan politik ke-Indonesia-an dalam sistem kepartaian yang kompetitif (competitive party system).
Keterlibatan sejumlah kader-kader potensil itu, sebagian besar diantaranya --- sekurang-kurangnya --- oleh sejumlah kalangan mengetahuinya sebagai orang-orang profesional, kaum intelektual, cerdik-cendekia dan memiliki “jam terbang” tinggi sebagai idealis disejumlah kelembagaan masyarakat, termasuk diantaranya mereka golongan berusia muda. Maka oleh banyak elemen kemasyarakatan meletakkan harapan dipundak mereka, akan adanya suatu tatanan sistem dan budaya politik yang lebih baik di masa datang. Masalahnya karena sampai saat ini, mereka diperhadapkan pada dua situasi yang memiliki kekuatan tarik menarik yang sama kuatnya, dan memiliki pengikut atas pahamnya masing-masing.4
Pertama, yaitu antara mereka yang --- sadar atau tidak --- masih berparadigma lama untuk menjaga status quo, berhadapan dengan mereka yang mengklaim dirinya sebagai kaum reformis. Pada pihak pertama, terjebak pada prilaku dan sikap pragmatis berdasarkan ukuran lama dimasa orde baru. Mereka ini, tidak semata eksponen dari salah satu partai politik lama, tetapi juga di partai baru yang memahami politik secara parsial. Pada pihak kedua, mereka yang memiliki komitmen pembaharuan, selalu berdaya-upaya mendorong perubahan tatanan politik secara cepat, untuk memberdayakan peranan partai politik sesuai tujuan dan fungsinya demi terbangunnya demokratisasi dan masyarakat madani (civil society),5 meskipun disadari tidak berpengalaman dalam praktek politik sebagai kekurangannya.
Kedua, antara penganut paham stuktural yang memandang bahwa perubahan tatanan politik, hanya mungkin dicapai melalui perbaikan sistem politik. Dan penganut paham kultural lainnya, yang berkesimpulan bahwa justru budaya politklah yang seharusnya menjadi dasar dalam membijaksanai pemberlakuan suatu sistem politik.
Sejarah Pendirian Partai PolitikJika ditelusuri sejarah kelahiran partai politik, pada mulanya terinspirasi oleh bagaimana sejatinya elemen kemasyarakatan menyalurkan aspirasinya kepada penguasa. Itu terjadi disejumlah negara Eropa yang menganut sistem monarki, dimana kekuasaan atas negara dan pemerintahan secara absolut dipegang oleh kerajaan yang berkuasa secara mutlak. Maka untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam kekuasaan negara yang begitu kuat, oleh segolongan masyarakat kemudian menggabungkan dirinya dalam kelompok-kelompok untuk secara bersama-sama menyalurkan aspirasinya, yang dalam perkembangannya kelompok-kelompok itu kemudian mendapatkan pengakuan dalam sistem politik kenegaraan, yang pada bentuknya disebut dengan “Partai Politik”.
Pada perkembangan selanjutnya, partai politik tidak lagi diorientasikan semata untuk penyaluran aspirasi, tetapi pada prakteknya juga dimanfaatkan oleh elitnya untuk menjadi instrumen pencapaian posisi dan kedudukannya di lembaga formal, baik di lembaga perwakilan aspirasi pendukungnya (legislatif), maupun di jajaran pemerintahan (eksekutif), dengan dalih bahwa aspirasi yang disampaikan hanya mungkin efektif pencapaiannya, jika kedudukan dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif dapat diraih, untuk berfungsi mensejah-terakan pendukung dan anggotanya
Ironisnya karena para ahli ilmu politik dalam merumuskan definisinya, tidak mempetakan antara “tujuan” dan “fungsi” partai politik itu sendiri. Sebutlah misalnya definisi yang dikemukakan dua ilmuan politik terkemuka. Carl J. Friedrich mendifinisikan partai politik pada tujuannya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, untuk maksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil. “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective df securing or maintaning for its leaders the control of a government, with the farther objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages”.6
Sementara lebih jauh oleh R. H. Soltau mengemukakan definisinya tentang partai politik sebagai organisasi yang dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan dalam menjalankan kebijaksanaan umum: “A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by the us of their voting power, aim to control the govern ment and carry out their general policies”.7
Jika rumusan dari dua definisi itu dicermati, jelas bahwa antara tujuan dan fungsi semakin tidak nyata pembedaannya, sehingga --- sadar atau tidak sadar --- dalam prakteknya, menjebak para pelaku politik (elit partai politik) tidak lagi mementingkan pembedaan itu, sehingga dapat mengaburkan cita-cita ideal ideal pendirian suatu partai politik, dan dalam prakteknya untuk tujuan kemaslahatan pendukungnya.
Bergesernya Peranan Partai PolitikIdealnya, keberadaan partai politik dibedakan atas dua peranan; yaitu “tujuan” di satu sisi, dan “fungsi” pada sisi yang lain, meskipun kenyataannya pem-bedaan itu semakin dikaburkan. Tujuan partai politik, adalah sarana untuk mencapai kedudukan atas dukungan pengikut dan pendukungnya. Sementara fungsi partai politik adalah untuk memperjuangkan aspirasi bagi kesejahteraan para pengikut dan pendukungnya, yang telah mempercayakan kepadanya melalui pemberian suara dalam pelaksanaan pemilu.
Jika pembedaan antara tujuan dan fungsi itu coba disepadankan dengan realitas dalam praktek politik, maka berdasar kesimpulan empiris --- terutama dalam tradisi politik ke-Indonesia-an kontemporer --- ternyata peranan partai politik mengalami pergeseran. Para elit dan pelaku politik lebih mengedepan-kan tujuan partai politik ketimbang pada fungsinnya, yang justru dijadikan hal yang kesekian. Akibatnya, rakyat pemilih sebagai konstituen --- pemegang kedaulatan atas pilihan politik --- diposisikan semata untuk di eksploitir sebagai alat legitimasi atas posisi kedudukan yang diraih elitnya.
Dalam prakteknya, partai politik lebih berorientasi tujuan daripada proses. Pembuktian terhadap kenyataan seperti itu, semakin nyata di Indonesia dimasa kepemimpinan era orde baru, dengan politik massa mengambang (floating mass).8 Pada masa itu, pilihan rakyat didasarkan atas order dari kekuasaan yang dimobilisasi secara sistemik melalui otoritas kekuasaan single majority,9 maupun dengan praktek mobilisasi massa dengan jargon-jargon verbal yang mengawang-awang. Misalnya melalui praktek money politic10 untuk upaya pemenuhan kebutuhan rakyat secara jangka pendek, serta upaya peningkatan kesejahteraan rakyat secara jangka panjang dalam bentuk harapan-harapan yang terlalu sulit untuk menunggu realisasi sebagai pembuktiannya.11
Pergeseran seperti itu, masih tetap membias dalam praktek politik multi partai era reformasi, sekelompok orang beramai-ramai mendirikan partai politik, dengan rumusan flaform yang begitu ideal, tetapi kenyataannya dari sekitar 10 partai politik yang mampu mencapai tujuan untuk memposisikan elit-nya di sejumlah lembaga legislatif di tanah air, secara praksis ikut-ikutan terjebak dalam menjalankan fungsi-fungsi keterwakilannya. Belum lagi menyebut peranan partai politik itu sendiri, platform kemudian hanya menjadi rumusan ideal di atas kertas, tanpa ada lagi korelasinya dengan program pencapaiannya. Ramai-ramai berprogram menjelang pelaksanaan pemilu, semata hanya untuk tujuan mengakses kader-kadernya dalam pencapaian tujuan partai politik, pasca pemilu aktivitas partai politik ikut menurun --- kalau tidak dikatakan terhenti --- padahal idealnya sejarah partai politik didirikan untuk men-jalankan fungsi-fungsinya, sementara untuk pencapaian tujuan adalah sasaran antara.12
Partai politik idealnya harus bergerak secara terus menerus untuk menjalankan aktivitasnya untuk menjalankan fungsi-fungsinya untuk mengakses problematika sosial yang dihadapi masyarakatnya, untuk dapat diartikulasikan dan diperjuangkan para wakil-wakilnya di parlemen. Pakar ilmu politik ternama dari Universitas Indonesia Miriam Budiardjo mengemukakan --- setidak-tidaknya --- ada empat fungsi partai politik, yaitu; (1) sebagai sarana komunikasi politik; (2) sebagai sarana sosialisasi politik, (3) sebagai sarana rekruitmen politik; dan (4) sebagai sarana pengatur konflik.13
Sistem Politik dan Budaya PolitikPada hakekatnya, dalam membangun tatanan politik egalitarian, tidak semata dipahami pada aspek paradigma “pelaku” politik dalam dua agenda, antara komitmen pembaharuan versus status quo. Hal lain yang terlalu sulit untuk --- tidak akan mungkin --- bisa dihindari, adalah soal antara bagaimana berjalannya suatu sistem politik (political system) di satu sisi, dan kondisi budaya politik (cultur politic) pada sisi yang lain yang melingkupinya. Kedua soal ini, secara sifat dasarnya masih menjadi suatu yang paradoksal sampai saat ini, dimana dua aliran pemikiran itu masih memiliki relevansi pembe-narannya masing-masing. Satu sisi mendebat bahwa sistem politiklah yang melahirkan budaya politik. Tetapi penganut paham lain berargumen bahwa justru budaya politiklah yang mempengaruhi lahirnya sistem politik.14
Jika dua aliran politik ini coba dicermati --- dengan tidak mengabaikan pemetaan pemikiran antara tujuan dan fungsi partai politik, sebagaimana dibahas sebelumnya --- secara sederhana dapat dimengerti bahwa penganut sistem politik melihatnya pada sisi arti pentingnya kekuasaan untuk melegiti-masi pemberlakuan suatu sistem. Sementara penganut paham budaya politik, lebih pada idealisme untuk memaknai kultur politik yang bertumbuhkembang di tengah masyarakat, sehingga dalam prosesnya mewujud pada pelembagaan sistem. Tentang dua argumen ini, pendekatannya hanya mampu dipertemu-kenali melalui kajian ilmu sosiologi, tidak lagi dalam tataran kajian ilmu politik.
Seorang pemikir sosiologi Ignas Kleden15 secara cerdas mengupas pembeda-annya, bahwa apakah institusi formal yang mempengaruhi perubahan sosial, ataukah sebaliknya. Dikemukakannya bahwa sistem sosial tercipta atas ketaatan penganutnya, dimana prosesnya distabilkan dalam suatu bentuk institusi sosial. Kelembagaan sosial itulah yang menjadi pengikat nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, dan ketika masyarakat memiliki daya ikat naka dengan sendirinya menjadi norma yang mengikat secara formal dalam suatu kelembagaan formal. Institusi formal itulah sebaliknya mengikatnya menjadi suatu sistem nilai bagi masyarakat untuk ditaatinya.
Kesimpulannya bahwa antara sistem sosial yang mencipta budaya politik, dan sistem formal mencipta sistem politik, tidak pada pandangan mana diantaranya yang lebih dominan memberi pengaruh, tetapi suatu yang sifatnya komplementer, saling ikut mempengaruhi sehingga seharusnya digerakkan secara bersama. Untuknya dalam setiap fase perubahan --- termasuk era reformasi saat ini --- akan selalu didorong adanya perubahan sistem politik melalui institusi formal negara, yang oleh ahli ilmu negara Max Weber, mengatakannya “memiliki kekuatan memaksa”.16
Berangkat dari seperangkat aturan yang diberlakukan oleh negara, disadari lambat laun ikut mendorong percepatan terciptanya budaya dan prilaku politik yang demokratis. Pada sisi yang lain, budaya politik sebagai seperangkat nilai dan norma kebiasaan yang berlangsung di tengah masyarakat dan diikat oleh institusi sosial, ikut mempengaruhi perumusan suatu sistem politik untuk tunduk pada nilai-nilai yang ditaati dan diakui oleh masyarakat, sehingga ketaatan antara keduanya terfasilitasi melalui institusi sosial dan institusi formal yang saling memberi muatan satu dengan yang lain.
Sedemikian pemahamannya, sehingga bagaimana para pelaku politik mampu memaknai keduanya dalam satu bingkai perubahan sistem politik dan budaya politik yang digerakkan secara komplementer. Untuk itu jelas Ignas Kleden,17 budaya politik tidak sekedar dijadikan dasar bagi tingkah laku politik, tetapi juga dibentuk dan diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik dari para pelaku politik. Itu karena tingkah laku politik banyak memberi pengaruh terciptanya budaya politik. Ini berarti bahwa tingkah laku politik yang bersih, akan menghasilkan budaya politik yang bersih pula, sehingga mendorong tercip-tannya bangunan sistem politik yang berkeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
Kalau dalam era reformasi saat ini --- jujur dikatakan ----- perubahan sistem politik yang dilakukan sampai saat ini sangat luar biasa, sistem dengan pemilihan langsung dalam pelaksanaan pemilu misalnya. Tetapi kemudian menjadi suatu yang paradoksal, karena pendidikan politik untuk mencipta budaya politik tidak sebanding perubahannya, sehingga yang terjadi bahwa pilihan rakyat secara langsung dalam pemilu, bukan karena tujuan untuk pilihan yang ideal, tetapi karena suatu pengaruh mempengaruhi atas kepen-tingan jangka pendek.
Pemuda dan Perubahan PolitikMengungkapkan realitas politik --- sebagaimana dingkapkan sebelumnya --- tegas disimpulkan bahwa transformasi politik adalah suatu keniscayaan, sehingga --- sekurang-kurangnya --- yang menjadi agenda atas persoalan itu adalah; Pertama; soal bagaimana para elit-elit partai politik mampu memberi arti keberadaan suatu partai politik, bukan semata pada tujuannya untuk menjadi instrumen pencapaian kedudukan, tetapi jauh lebih berarti adalah menggerakan fungsi-fungsinya untuk mengartikulasikan kemaslahatan rakyat banyak. Kedua, bagaimana elit-elit para pelaku politik untuk tidak terjebak pada adagium dan paradigma lama untuk meletakkan status quo, tetapi pada komitmen dan integritas sebagai elemen perubah. Ketiga, bagaimana para pelaku politik mampu mendorong tercipatanya sistem politik di satu sisi, dan menggerakkannya secara komplementer dengan budaya politik yang bertum-buh kembang di tengah masyarakat.
Jika ketiga soal tersebut dijadikan sebagai agenda transformasi politik, maka --- selain kaum intelektual dan cerdik cendekia --- posisi peran pemuda diharapkan menjadi instrumen penentu, sebagaimana rentetan pergerakannya yang dicatatkan dengan tinta emas dalam potret sejarah perubahan bangsa Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (kebangkitan nasional 1908, per-sepakatan satu bangsa 1928, dan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 1945), maupun sesudah Indonesia merdeka (Tritura 1966, Malari 1974 dan reformasi 1998).18
Hanya saja, persoalan lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, adalah soal pola dan bentuk gerakan kaum muda dalam menggerakkan suatu perubahan. Yaitu antara gerakan struktural dalam bentuk pemberontakan,19 ataukah gerakan kultural dalam bentuk penciptaan kesadaran hak-hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Penganut gerakan kultural menuding bahwa gerakan struktural tidak menyentuh pada substansi persoalan, semen-tara penganut struktural berdalih bahwa gerakan kultural sangat lamban dalam melakukan perubahan. Meskipun, dari sisi proses keduanya memiliki tarik ulur yang sama kuatnya, tetapi ketemu pada tujuan pencapaiannya dalam melaku-kan perubahan.
Untuk itulah, selain karena memiliki pembenarannya masing-masing, juga karena keduanya memiliki pencapaian tujuan yang sama, sehingga soal itu tidak mesti harus diselesaikan. Tetapi dalam melakukan transformasi politik era reformasi, keduanya sama-sama menjadi penting. Transformasi politik di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana tujuan partai politik untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan bagaimana para pelaku politik mampu menggerakkannya. Selebihnya transformasi politik secara kultural menjadi suatu yang absah, yaitu bagaimana menggerakkan partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi masyarakat --- setidak-tidaknya --- para pengikutnya, untuk menciptakan suatu budaya politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen pembaharuan dari para pelaku politik.
Kedua sisi itulah yang melingkupi kaum muda dalam realitas politik dalam melakukan transformasi politik. Secara struktural (dalam pemahaman ini), jauh lebih memungkinkan untuk mampu digerakkan oleh kaum muda jika mengambil posisi peran sebagai praktisi politik dalam struktur partai politik, untuk menggerakkan kelembagaan partai politik secara institusional. Mengge-rakkan roda organisasi untuk melakukan reproduksi mekanis atas suatu peristiwa politik, bukan untuk pencapaian tujuan kekuasaan semata, tetapi menggerakkan fungsi-fungsinya untuk mengkomunikasikan dan mensosia-lisasikan politik, serta memanfaatkan partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Sama berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi politik secara kultural, dengan melihatnya bahwa kerja-kerja politik bukanlah urusan teknis yang mekanistik, tetapi pekerjaan intelektual. Yaitu menggerakkan tujuan perubahan berdasarkan pergulatan dan dialektika yang intens dilakukannya antara persepsi dirinya dengan bagaimana meman-dang suatu peristiwa politik, kaitannya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu bangunan negara. Dengan itu, bentuk peru-bahan yang dilakukannnya adalah merupakan pergulatan dirinya dengan persoalan dengan melibatkan tanggungjawab sosialnya dan integritas intelek-tual yang dimilikinya.20
Cita-cita ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi politik itu, adalah terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan masyarakat madani (civil society), yaitu menggerakkan keadaan sebagaimana mestinya, mempertimbangkan kemanfaatannya, serta memberi perspektif terhadap nilai yang sedang dianut ditengah masyarakat sebagai budaya politik dan mengar-tikulasikannya dalam sistem politik, untuk selanjutnya bermuara kembali menjadi budaya politik, dan selanjutnya. Itu artinya bahwa, bagi kaum muda yang akan melakukan transformasi politik, bukanlah suatu tanggungjawab yang bebas nilai, tetapi memiliki seperangkat nilai yang menjadi referensi perge-rakannya, serta memperjelas posisi gerakannya, maupun untuk memben-tangkan visi ideal yang menjangkau ke depan atas cita-cita yang hendak di-capainya.
Pemaknaan atas pola pergerakan yang sedemikian itu, referensi nilai dijelaskan Dirk Huels21 adalah unsur konstitutif yang menentukan watak dan kepribadian, karena memerlukan kejujuran dan keikhlasan untuk berani menjauhkan unsur-unsur subjektif bagi kepentingan diri semata, tetapi berikhtiar pada objektivitas atas suatu perangkat nilai untuk tetap setia pada ide dasar dan cita-cita perjuangan yang telah digariskan sebelumnya, dan jauh lebih mengedepankan tujuan jangka panjang dan untuk tujuan kemaslahatan orang banyak.
Pada saat adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu jugalah objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas terhadap setiap diri. Suatu yang pada dasarnya memang semakin paradoksal sekali sifatnya, karena menjadi suatu yang sejak mula adanya politik dan partai politik itu sendiri --- sebagaimana diungkapkan diawal tulisan ini --- substasinya adalah soal problematika kepentingan itu sendiri, dalam kamus politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan itu sendiri”. Jika demikian mestinya, masih mampukah kaum muda diharapkan menjadi elemen perubah dalam tatanan politik ke-Indonesia-an mendepan, ataukah hanya berposisi jadi elemen pengabsah atau suatu realitas politik yang sudah demikian adanya.
Untuk memberi jawaban sederhana terhadap soal itu, bahwa kultur politik era reformasi saat ini, yang menjadi realitas politik yang melingkupi kaum muda, tidak memungkinkan lagi baginya untuk berposisi sebagai pengabsah semata. Jika tidak ingin bergeser dari ideologi pragmatisme,22 maka sistem politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan bergerak begitu sangat cepat, pasti akan menggilasnya. Dan pada saatnya kelak, zaman yang akan mencatatnya dalam lembaran sejarah yang buruk.
Catatan Kaki
1 Pasca-Pemilu 1971, sejak tahun 1974 pemerintah memberlakukan kebijakan fusi partai, yaitu penggabungan 4 (empat) partai Islam berfusi menjadi PPP, dan 5 (lima) partai nasionalis Kristen-Katolik berfusi menjadi PDI, ditambah Golongan Karya. Sebagai orsospol peserta pemilu.
2 Golongan Karya pada saat itu, dalam bentuknya hanyalah organisasi sosial politik, dan sama sekali tidak dalam status partai politik, tetapi karena menjadi organisasi perpanjangan tangan kekuasaan, sehingga menjadi salah satu peserta pemilu.
3 Afan Gaffar: “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
4 Indikasi kuat terhadap fenomena ini, dapat disaksikan dari terpolarisasinya sejumlah partai politk dalam dua bentuk pada Pilpres 2004, sampai berlanjut terpetakannya keanggotaan DPR-RI 2004-2009 dalam dua kelompok yang membawa pengaruh pada “bentrok” cukup tajam dalam setiap proses pengambilan keputusan, antara koalisi kebangsaan yang dimotori partai pemenang Pemilu 2004 Partai Golkar dan PDI-P, berhadapan Koalisi Kebangsaan yang yang dimotori Partai Demokrat dan PKS;
5 Uraian sangat tajam tentang soal ini, baca buku Muhammad A. S. Hikam: “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta1996. Atau bandingkan pula pandangan sejumlah intelektual indonesia tentang bagaimana mendorong masyarakat yang partisipatif untuk dapat terlibat dalam setiap proses politik, dalam buku: “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, Burhanuddin (Editor), INCIS, Jakarta 2003.
6 Pengauraian lebih lanjut bagaimana fungsi dan peranan partai politik dalam membangun demokrasi dan mengatur kebijaksanaan pemerintahan di sejumlah negara Eropa dan Amerika, baca buku Carl J. Friedrich: “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
7 R. H. Soltau dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, karangan Miriam Budiardjo, Penerbit Gramedia Jakarta, 1988.
8 Praktek politik massa mengambang di masa Orde Baru lihat buku karangan Riswandha Imawan “Membedah Politik Orde Baru”, Pustaka Pelajar Yogyakarta : 1997, serta Laporan Tim Laboratorium Ilmu Politik Fisip UI: “Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat: Reformasi UU Pemilihan Umum”, dalam Seri Penerbitan Studi Politik LIP FISIP-UI “Mengubur Sistem Politik Orde Baru”, Mizan, Bandung : 1998.
9 Kekuasaan single majority dimasa Orde Baru dikendalikan oleh Golkar (orsospol), sebagai pemenang pemilu (sejak tahun 1971 sampai 1997) yang mencapai perolehan suara nasional mencapai kurang lebih 60 % sampai 90 %,, dibanding kontestan lainnya PPP dan PDI-P.
10 Pembuktian terhadap praktek money politic dalam pelaksanan Pemilu di Indonesia, dapat dibaca sejumlah laporan sejumlah ornop yang bertugas dan terlibat sebagai pemantau pemilu, baik pada masa Orde Baru, lebih-lebih pada era roformasi dengan sistem multipartai yang mengikutkan puluhan partai politik sebagai kontestan.
11 Soal-soal janji-janji politik itu dapat disaksikan pada saat penyelenggaraan masa kampanye menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum, yang oleh sejumlah jurkam dalam menyampaikan program-programnya sangat muluk-muluk dan serba semuanya yang indah-indah untuk di dengar, agar mendapatkan simpati rakyat.
12 Suatu yang ironis, partai politik berlomba-lomba menjalankan programnya menjelang dan sampai pelaksanaan pemilu untuk mencari simpati rakyat, tetapi setelah pemilu berakhir, maka berakhir pulalah rangkaian program sejumlah partai politik, sehingga fungsi-fungsi partai politik beralih kepada wakilnya di lembaga legisltif, kalau seandainya tidak berhasil meloloskan kadaernya, maka sampai saat itulah partai politik bersangkutan memainkan peranya.
13 Selengkapnya lihat ulasan Miriam Budiardjo, dalam buku karangannya “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Penerbit Gramedia Jakarta, 1988.
14 Perdebatan panjang soal ini sudah berlangsung cukup lama. Perbedaan jalan berfikir antara Soekarno dkk dan Hatta dkk, misalnya di saat awal negara dibangun, tidak menemui titik temu, sehingga Hatta dengan sangat terpaksa mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Pertentangan soal ini kemudian menguat di awal-awal era reformasi, sebagian pemikir berbicara tentang perlunya reformasi sistem politik, tetapi pada saat yang bersamaan ada juga yang mencoba bersuara lain bahwa jauh lebih realistis memikirkan pembaharuan budaya politik.
15 Ignas Kleden dalam Kata Pengantar “Perspektif Pers Indonesia” karangan Jakob Oetama, LP3S, Jakarta 1987.
16 Max Webwr, “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)
17 Baca artikel Ignas Kleden “Budaya Politik atau Moralitas Politik?” yang dimuat Harian Kompas, 12 Maret 1998.
18 Gerakan pemuda untuk perubahan bangsa memiliki perbedaan orientasi. Pra-kemerdekaan memiliki kesinambungan dari upaya membangun nasio-nalisme, klaim persatuan nusa-bangsa-bahasa, dan pencapaian kemerdekaan indonesia. Pasca-kemerdekaan, setelah pemerintahan terbentuk, gerakan pe-muda tidak memiliki lagi kesinambungan orientasi tetapi tergantung pada situasi dan kondisi sistem negara yang perlu dilakukan perubahan.
19 Istilah ini digunakan Ben Anderson seorang indonesianis yang melakukan penelitian dalam penyusunan disertasinya pada Universitas Cornell Amerika Serikat, dengan judul “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945”, yang diselesaikannya tahun 1967.
20 Uraian tentang ini lebih orisinil diulas berdasarkan perspektif tang-gungjawab pers oleh Jakob Oetama dalam buku kumpulan tulisannya “Pers-pektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
21 Dirk Huels “Kritischer Rasionalismus: Eine Zitgemaesse Philosophie?”, dalam Frans Neumann (Ed), Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.
22 Istilah ini digunakan oleh Idrus Marham (Ketua Umum DPP KNPI) dalam penguraian lengkapnya “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, dalam jurnal pemikiran kaum muda RESONANSI, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Berdirinya partai politik --- dalam jumlah cukup banyak dibanding sebelumnya --- memberi dampak positif pada teraksesnya sejumlah kader-kader potensil untuk terlibat menjadi praktisi politik. Pada masa orde baru --- berdasarkan fusi partai1 --- hanya ada dua partai politik plus satu orsospol2 yang menjadi peserta pemilu, sehingga akses untuk terlibat didalamnya sangat terbatas dan tidak kondusif, dimana selama tiga dasawarsa sistem politik menjadi carut-marut akibat rekayasa politik orde baru yang memberlakukan sistem kepartaian hegemonik (hegemonic party system).3 Saatnnya di era reformasi sekarang ini, kader-kader potensil saatnya memiliki ruang lapang dan sudah tersedianya wadah untuk dapat mengartikulasikan gagasan-gagasan dan pemikiran politiknya, untuk membangun tatanan politik ke-Indonesia-an dalam sistem kepartaian yang kompetitif (competitive party system).
Keterlibatan sejumlah kader-kader potensil itu, sebagian besar diantaranya --- sekurang-kurangnya --- oleh sejumlah kalangan mengetahuinya sebagai orang-orang profesional, kaum intelektual, cerdik-cendekia dan memiliki “jam terbang” tinggi sebagai idealis disejumlah kelembagaan masyarakat, termasuk diantaranya mereka golongan berusia muda. Maka oleh banyak elemen kemasyarakatan meletakkan harapan dipundak mereka, akan adanya suatu tatanan sistem dan budaya politik yang lebih baik di masa datang. Masalahnya karena sampai saat ini, mereka diperhadapkan pada dua situasi yang memiliki kekuatan tarik menarik yang sama kuatnya, dan memiliki pengikut atas pahamnya masing-masing.4
Pertama, yaitu antara mereka yang --- sadar atau tidak --- masih berparadigma lama untuk menjaga status quo, berhadapan dengan mereka yang mengklaim dirinya sebagai kaum reformis. Pada pihak pertama, terjebak pada prilaku dan sikap pragmatis berdasarkan ukuran lama dimasa orde baru. Mereka ini, tidak semata eksponen dari salah satu partai politik lama, tetapi juga di partai baru yang memahami politik secara parsial. Pada pihak kedua, mereka yang memiliki komitmen pembaharuan, selalu berdaya-upaya mendorong perubahan tatanan politik secara cepat, untuk memberdayakan peranan partai politik sesuai tujuan dan fungsinya demi terbangunnya demokratisasi dan masyarakat madani (civil society),5 meskipun disadari tidak berpengalaman dalam praktek politik sebagai kekurangannya.
Kedua, antara penganut paham stuktural yang memandang bahwa perubahan tatanan politik, hanya mungkin dicapai melalui perbaikan sistem politik. Dan penganut paham kultural lainnya, yang berkesimpulan bahwa justru budaya politklah yang seharusnya menjadi dasar dalam membijaksanai pemberlakuan suatu sistem politik.
Sejarah Pendirian Partai PolitikJika ditelusuri sejarah kelahiran partai politik, pada mulanya terinspirasi oleh bagaimana sejatinya elemen kemasyarakatan menyalurkan aspirasinya kepada penguasa. Itu terjadi disejumlah negara Eropa yang menganut sistem monarki, dimana kekuasaan atas negara dan pemerintahan secara absolut dipegang oleh kerajaan yang berkuasa secara mutlak. Maka untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam kekuasaan negara yang begitu kuat, oleh segolongan masyarakat kemudian menggabungkan dirinya dalam kelompok-kelompok untuk secara bersama-sama menyalurkan aspirasinya, yang dalam perkembangannya kelompok-kelompok itu kemudian mendapatkan pengakuan dalam sistem politik kenegaraan, yang pada bentuknya disebut dengan “Partai Politik”.
Pada perkembangan selanjutnya, partai politik tidak lagi diorientasikan semata untuk penyaluran aspirasi, tetapi pada prakteknya juga dimanfaatkan oleh elitnya untuk menjadi instrumen pencapaian posisi dan kedudukannya di lembaga formal, baik di lembaga perwakilan aspirasi pendukungnya (legislatif), maupun di jajaran pemerintahan (eksekutif), dengan dalih bahwa aspirasi yang disampaikan hanya mungkin efektif pencapaiannya, jika kedudukan dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif dapat diraih, untuk berfungsi mensejah-terakan pendukung dan anggotanya
Ironisnya karena para ahli ilmu politik dalam merumuskan definisinya, tidak mempetakan antara “tujuan” dan “fungsi” partai politik itu sendiri. Sebutlah misalnya definisi yang dikemukakan dua ilmuan politik terkemuka. Carl J. Friedrich mendifinisikan partai politik pada tujuannya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, untuk maksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil. “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective df securing or maintaning for its leaders the control of a government, with the farther objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages”.6
Sementara lebih jauh oleh R. H. Soltau mengemukakan definisinya tentang partai politik sebagai organisasi yang dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan dalam menjalankan kebijaksanaan umum: “A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by the us of their voting power, aim to control the govern ment and carry out their general policies”.7
Jika rumusan dari dua definisi itu dicermati, jelas bahwa antara tujuan dan fungsi semakin tidak nyata pembedaannya, sehingga --- sadar atau tidak sadar --- dalam prakteknya, menjebak para pelaku politik (elit partai politik) tidak lagi mementingkan pembedaan itu, sehingga dapat mengaburkan cita-cita ideal ideal pendirian suatu partai politik, dan dalam prakteknya untuk tujuan kemaslahatan pendukungnya.
Bergesernya Peranan Partai PolitikIdealnya, keberadaan partai politik dibedakan atas dua peranan; yaitu “tujuan” di satu sisi, dan “fungsi” pada sisi yang lain, meskipun kenyataannya pem-bedaan itu semakin dikaburkan. Tujuan partai politik, adalah sarana untuk mencapai kedudukan atas dukungan pengikut dan pendukungnya. Sementara fungsi partai politik adalah untuk memperjuangkan aspirasi bagi kesejahteraan para pengikut dan pendukungnya, yang telah mempercayakan kepadanya melalui pemberian suara dalam pelaksanaan pemilu.
Jika pembedaan antara tujuan dan fungsi itu coba disepadankan dengan realitas dalam praktek politik, maka berdasar kesimpulan empiris --- terutama dalam tradisi politik ke-Indonesia-an kontemporer --- ternyata peranan partai politik mengalami pergeseran. Para elit dan pelaku politik lebih mengedepan-kan tujuan partai politik ketimbang pada fungsinnya, yang justru dijadikan hal yang kesekian. Akibatnya, rakyat pemilih sebagai konstituen --- pemegang kedaulatan atas pilihan politik --- diposisikan semata untuk di eksploitir sebagai alat legitimasi atas posisi kedudukan yang diraih elitnya.
Dalam prakteknya, partai politik lebih berorientasi tujuan daripada proses. Pembuktian terhadap kenyataan seperti itu, semakin nyata di Indonesia dimasa kepemimpinan era orde baru, dengan politik massa mengambang (floating mass).8 Pada masa itu, pilihan rakyat didasarkan atas order dari kekuasaan yang dimobilisasi secara sistemik melalui otoritas kekuasaan single majority,9 maupun dengan praktek mobilisasi massa dengan jargon-jargon verbal yang mengawang-awang. Misalnya melalui praktek money politic10 untuk upaya pemenuhan kebutuhan rakyat secara jangka pendek, serta upaya peningkatan kesejahteraan rakyat secara jangka panjang dalam bentuk harapan-harapan yang terlalu sulit untuk menunggu realisasi sebagai pembuktiannya.11
Pergeseran seperti itu, masih tetap membias dalam praktek politik multi partai era reformasi, sekelompok orang beramai-ramai mendirikan partai politik, dengan rumusan flaform yang begitu ideal, tetapi kenyataannya dari sekitar 10 partai politik yang mampu mencapai tujuan untuk memposisikan elit-nya di sejumlah lembaga legislatif di tanah air, secara praksis ikut-ikutan terjebak dalam menjalankan fungsi-fungsi keterwakilannya. Belum lagi menyebut peranan partai politik itu sendiri, platform kemudian hanya menjadi rumusan ideal di atas kertas, tanpa ada lagi korelasinya dengan program pencapaiannya. Ramai-ramai berprogram menjelang pelaksanaan pemilu, semata hanya untuk tujuan mengakses kader-kadernya dalam pencapaian tujuan partai politik, pasca pemilu aktivitas partai politik ikut menurun --- kalau tidak dikatakan terhenti --- padahal idealnya sejarah partai politik didirikan untuk men-jalankan fungsi-fungsinya, sementara untuk pencapaian tujuan adalah sasaran antara.12
Partai politik idealnya harus bergerak secara terus menerus untuk menjalankan aktivitasnya untuk menjalankan fungsi-fungsinya untuk mengakses problematika sosial yang dihadapi masyarakatnya, untuk dapat diartikulasikan dan diperjuangkan para wakil-wakilnya di parlemen. Pakar ilmu politik ternama dari Universitas Indonesia Miriam Budiardjo mengemukakan --- setidak-tidaknya --- ada empat fungsi partai politik, yaitu; (1) sebagai sarana komunikasi politik; (2) sebagai sarana sosialisasi politik, (3) sebagai sarana rekruitmen politik; dan (4) sebagai sarana pengatur konflik.13
Sistem Politik dan Budaya PolitikPada hakekatnya, dalam membangun tatanan politik egalitarian, tidak semata dipahami pada aspek paradigma “pelaku” politik dalam dua agenda, antara komitmen pembaharuan versus status quo. Hal lain yang terlalu sulit untuk --- tidak akan mungkin --- bisa dihindari, adalah soal antara bagaimana berjalannya suatu sistem politik (political system) di satu sisi, dan kondisi budaya politik (cultur politic) pada sisi yang lain yang melingkupinya. Kedua soal ini, secara sifat dasarnya masih menjadi suatu yang paradoksal sampai saat ini, dimana dua aliran pemikiran itu masih memiliki relevansi pembe-narannya masing-masing. Satu sisi mendebat bahwa sistem politiklah yang melahirkan budaya politik. Tetapi penganut paham lain berargumen bahwa justru budaya politiklah yang mempengaruhi lahirnya sistem politik.14
Jika dua aliran politik ini coba dicermati --- dengan tidak mengabaikan pemetaan pemikiran antara tujuan dan fungsi partai politik, sebagaimana dibahas sebelumnya --- secara sederhana dapat dimengerti bahwa penganut sistem politik melihatnya pada sisi arti pentingnya kekuasaan untuk melegiti-masi pemberlakuan suatu sistem. Sementara penganut paham budaya politik, lebih pada idealisme untuk memaknai kultur politik yang bertumbuhkembang di tengah masyarakat, sehingga dalam prosesnya mewujud pada pelembagaan sistem. Tentang dua argumen ini, pendekatannya hanya mampu dipertemu-kenali melalui kajian ilmu sosiologi, tidak lagi dalam tataran kajian ilmu politik.
Seorang pemikir sosiologi Ignas Kleden15 secara cerdas mengupas pembeda-annya, bahwa apakah institusi formal yang mempengaruhi perubahan sosial, ataukah sebaliknya. Dikemukakannya bahwa sistem sosial tercipta atas ketaatan penganutnya, dimana prosesnya distabilkan dalam suatu bentuk institusi sosial. Kelembagaan sosial itulah yang menjadi pengikat nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, dan ketika masyarakat memiliki daya ikat naka dengan sendirinya menjadi norma yang mengikat secara formal dalam suatu kelembagaan formal. Institusi formal itulah sebaliknya mengikatnya menjadi suatu sistem nilai bagi masyarakat untuk ditaatinya.
Kesimpulannya bahwa antara sistem sosial yang mencipta budaya politik, dan sistem formal mencipta sistem politik, tidak pada pandangan mana diantaranya yang lebih dominan memberi pengaruh, tetapi suatu yang sifatnya komplementer, saling ikut mempengaruhi sehingga seharusnya digerakkan secara bersama. Untuknya dalam setiap fase perubahan --- termasuk era reformasi saat ini --- akan selalu didorong adanya perubahan sistem politik melalui institusi formal negara, yang oleh ahli ilmu negara Max Weber, mengatakannya “memiliki kekuatan memaksa”.16
Berangkat dari seperangkat aturan yang diberlakukan oleh negara, disadari lambat laun ikut mendorong percepatan terciptanya budaya dan prilaku politik yang demokratis. Pada sisi yang lain, budaya politik sebagai seperangkat nilai dan norma kebiasaan yang berlangsung di tengah masyarakat dan diikat oleh institusi sosial, ikut mempengaruhi perumusan suatu sistem politik untuk tunduk pada nilai-nilai yang ditaati dan diakui oleh masyarakat, sehingga ketaatan antara keduanya terfasilitasi melalui institusi sosial dan institusi formal yang saling memberi muatan satu dengan yang lain.
Sedemikian pemahamannya, sehingga bagaimana para pelaku politik mampu memaknai keduanya dalam satu bingkai perubahan sistem politik dan budaya politik yang digerakkan secara komplementer. Untuk itu jelas Ignas Kleden,17 budaya politik tidak sekedar dijadikan dasar bagi tingkah laku politik, tetapi juga dibentuk dan diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik dari para pelaku politik. Itu karena tingkah laku politik banyak memberi pengaruh terciptanya budaya politik. Ini berarti bahwa tingkah laku politik yang bersih, akan menghasilkan budaya politik yang bersih pula, sehingga mendorong tercip-tannya bangunan sistem politik yang berkeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
Kalau dalam era reformasi saat ini --- jujur dikatakan ----- perubahan sistem politik yang dilakukan sampai saat ini sangat luar biasa, sistem dengan pemilihan langsung dalam pelaksanaan pemilu misalnya. Tetapi kemudian menjadi suatu yang paradoksal, karena pendidikan politik untuk mencipta budaya politik tidak sebanding perubahannya, sehingga yang terjadi bahwa pilihan rakyat secara langsung dalam pemilu, bukan karena tujuan untuk pilihan yang ideal, tetapi karena suatu pengaruh mempengaruhi atas kepen-tingan jangka pendek.
Pemuda dan Perubahan PolitikMengungkapkan realitas politik --- sebagaimana dingkapkan sebelumnya --- tegas disimpulkan bahwa transformasi politik adalah suatu keniscayaan, sehingga --- sekurang-kurangnya --- yang menjadi agenda atas persoalan itu adalah; Pertama; soal bagaimana para elit-elit partai politik mampu memberi arti keberadaan suatu partai politik, bukan semata pada tujuannya untuk menjadi instrumen pencapaian kedudukan, tetapi jauh lebih berarti adalah menggerakan fungsi-fungsinya untuk mengartikulasikan kemaslahatan rakyat banyak. Kedua, bagaimana elit-elit para pelaku politik untuk tidak terjebak pada adagium dan paradigma lama untuk meletakkan status quo, tetapi pada komitmen dan integritas sebagai elemen perubah. Ketiga, bagaimana para pelaku politik mampu mendorong tercipatanya sistem politik di satu sisi, dan menggerakkannya secara komplementer dengan budaya politik yang bertum-buh kembang di tengah masyarakat.
Jika ketiga soal tersebut dijadikan sebagai agenda transformasi politik, maka --- selain kaum intelektual dan cerdik cendekia --- posisi peran pemuda diharapkan menjadi instrumen penentu, sebagaimana rentetan pergerakannya yang dicatatkan dengan tinta emas dalam potret sejarah perubahan bangsa Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (kebangkitan nasional 1908, per-sepakatan satu bangsa 1928, dan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 1945), maupun sesudah Indonesia merdeka (Tritura 1966, Malari 1974 dan reformasi 1998).18
Hanya saja, persoalan lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, adalah soal pola dan bentuk gerakan kaum muda dalam menggerakkan suatu perubahan. Yaitu antara gerakan struktural dalam bentuk pemberontakan,19 ataukah gerakan kultural dalam bentuk penciptaan kesadaran hak-hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Penganut gerakan kultural menuding bahwa gerakan struktural tidak menyentuh pada substansi persoalan, semen-tara penganut struktural berdalih bahwa gerakan kultural sangat lamban dalam melakukan perubahan. Meskipun, dari sisi proses keduanya memiliki tarik ulur yang sama kuatnya, tetapi ketemu pada tujuan pencapaiannya dalam melaku-kan perubahan.
Untuk itulah, selain karena memiliki pembenarannya masing-masing, juga karena keduanya memiliki pencapaian tujuan yang sama, sehingga soal itu tidak mesti harus diselesaikan. Tetapi dalam melakukan transformasi politik era reformasi, keduanya sama-sama menjadi penting. Transformasi politik di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana tujuan partai politik untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan bagaimana para pelaku politik mampu menggerakkannya. Selebihnya transformasi politik secara kultural menjadi suatu yang absah, yaitu bagaimana menggerakkan partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi masyarakat --- setidak-tidaknya --- para pengikutnya, untuk menciptakan suatu budaya politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen pembaharuan dari para pelaku politik.
Kedua sisi itulah yang melingkupi kaum muda dalam realitas politik dalam melakukan transformasi politik. Secara struktural (dalam pemahaman ini), jauh lebih memungkinkan untuk mampu digerakkan oleh kaum muda jika mengambil posisi peran sebagai praktisi politik dalam struktur partai politik, untuk menggerakkan kelembagaan partai politik secara institusional. Mengge-rakkan roda organisasi untuk melakukan reproduksi mekanis atas suatu peristiwa politik, bukan untuk pencapaian tujuan kekuasaan semata, tetapi menggerakkan fungsi-fungsinya untuk mengkomunikasikan dan mensosia-lisasikan politik, serta memanfaatkan partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Sama berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi politik secara kultural, dengan melihatnya bahwa kerja-kerja politik bukanlah urusan teknis yang mekanistik, tetapi pekerjaan intelektual. Yaitu menggerakkan tujuan perubahan berdasarkan pergulatan dan dialektika yang intens dilakukannya antara persepsi dirinya dengan bagaimana meman-dang suatu peristiwa politik, kaitannya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu bangunan negara. Dengan itu, bentuk peru-bahan yang dilakukannnya adalah merupakan pergulatan dirinya dengan persoalan dengan melibatkan tanggungjawab sosialnya dan integritas intelek-tual yang dimilikinya.20
Cita-cita ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi politik itu, adalah terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan masyarakat madani (civil society), yaitu menggerakkan keadaan sebagaimana mestinya, mempertimbangkan kemanfaatannya, serta memberi perspektif terhadap nilai yang sedang dianut ditengah masyarakat sebagai budaya politik dan mengar-tikulasikannya dalam sistem politik, untuk selanjutnya bermuara kembali menjadi budaya politik, dan selanjutnya. Itu artinya bahwa, bagi kaum muda yang akan melakukan transformasi politik, bukanlah suatu tanggungjawab yang bebas nilai, tetapi memiliki seperangkat nilai yang menjadi referensi perge-rakannya, serta memperjelas posisi gerakannya, maupun untuk memben-tangkan visi ideal yang menjangkau ke depan atas cita-cita yang hendak di-capainya.
Pemaknaan atas pola pergerakan yang sedemikian itu, referensi nilai dijelaskan Dirk Huels21 adalah unsur konstitutif yang menentukan watak dan kepribadian, karena memerlukan kejujuran dan keikhlasan untuk berani menjauhkan unsur-unsur subjektif bagi kepentingan diri semata, tetapi berikhtiar pada objektivitas atas suatu perangkat nilai untuk tetap setia pada ide dasar dan cita-cita perjuangan yang telah digariskan sebelumnya, dan jauh lebih mengedepankan tujuan jangka panjang dan untuk tujuan kemaslahatan orang banyak.
Pada saat adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu jugalah objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas terhadap setiap diri. Suatu yang pada dasarnya memang semakin paradoksal sekali sifatnya, karena menjadi suatu yang sejak mula adanya politik dan partai politik itu sendiri --- sebagaimana diungkapkan diawal tulisan ini --- substasinya adalah soal problematika kepentingan itu sendiri, dalam kamus politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan itu sendiri”. Jika demikian mestinya, masih mampukah kaum muda diharapkan menjadi elemen perubah dalam tatanan politik ke-Indonesia-an mendepan, ataukah hanya berposisi jadi elemen pengabsah atau suatu realitas politik yang sudah demikian adanya.
Untuk memberi jawaban sederhana terhadap soal itu, bahwa kultur politik era reformasi saat ini, yang menjadi realitas politik yang melingkupi kaum muda, tidak memungkinkan lagi baginya untuk berposisi sebagai pengabsah semata. Jika tidak ingin bergeser dari ideologi pragmatisme,22 maka sistem politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan bergerak begitu sangat cepat, pasti akan menggilasnya. Dan pada saatnya kelak, zaman yang akan mencatatnya dalam lembaran sejarah yang buruk.
Catatan Kaki
1 Pasca-Pemilu 1971, sejak tahun 1974 pemerintah memberlakukan kebijakan fusi partai, yaitu penggabungan 4 (empat) partai Islam berfusi menjadi PPP, dan 5 (lima) partai nasionalis Kristen-Katolik berfusi menjadi PDI, ditambah Golongan Karya. Sebagai orsospol peserta pemilu.
2 Golongan Karya pada saat itu, dalam bentuknya hanyalah organisasi sosial politik, dan sama sekali tidak dalam status partai politik, tetapi karena menjadi organisasi perpanjangan tangan kekuasaan, sehingga menjadi salah satu peserta pemilu.
3 Afan Gaffar: “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
4 Indikasi kuat terhadap fenomena ini, dapat disaksikan dari terpolarisasinya sejumlah partai politk dalam dua bentuk pada Pilpres 2004, sampai berlanjut terpetakannya keanggotaan DPR-RI 2004-2009 dalam dua kelompok yang membawa pengaruh pada “bentrok” cukup tajam dalam setiap proses pengambilan keputusan, antara koalisi kebangsaan yang dimotori partai pemenang Pemilu 2004 Partai Golkar dan PDI-P, berhadapan Koalisi Kebangsaan yang yang dimotori Partai Demokrat dan PKS;
5 Uraian sangat tajam tentang soal ini, baca buku Muhammad A. S. Hikam: “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta1996. Atau bandingkan pula pandangan sejumlah intelektual indonesia tentang bagaimana mendorong masyarakat yang partisipatif untuk dapat terlibat dalam setiap proses politik, dalam buku: “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, Burhanuddin (Editor), INCIS, Jakarta 2003.
6 Pengauraian lebih lanjut bagaimana fungsi dan peranan partai politik dalam membangun demokrasi dan mengatur kebijaksanaan pemerintahan di sejumlah negara Eropa dan Amerika, baca buku Carl J. Friedrich: “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
7 R. H. Soltau dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, karangan Miriam Budiardjo, Penerbit Gramedia Jakarta, 1988.
8 Praktek politik massa mengambang di masa Orde Baru lihat buku karangan Riswandha Imawan “Membedah Politik Orde Baru”, Pustaka Pelajar Yogyakarta : 1997, serta Laporan Tim Laboratorium Ilmu Politik Fisip UI: “Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat: Reformasi UU Pemilihan Umum”, dalam Seri Penerbitan Studi Politik LIP FISIP-UI “Mengubur Sistem Politik Orde Baru”, Mizan, Bandung : 1998.
9 Kekuasaan single majority dimasa Orde Baru dikendalikan oleh Golkar (orsospol), sebagai pemenang pemilu (sejak tahun 1971 sampai 1997) yang mencapai perolehan suara nasional mencapai kurang lebih 60 % sampai 90 %,, dibanding kontestan lainnya PPP dan PDI-P.
10 Pembuktian terhadap praktek money politic dalam pelaksanan Pemilu di Indonesia, dapat dibaca sejumlah laporan sejumlah ornop yang bertugas dan terlibat sebagai pemantau pemilu, baik pada masa Orde Baru, lebih-lebih pada era roformasi dengan sistem multipartai yang mengikutkan puluhan partai politik sebagai kontestan.
11 Soal-soal janji-janji politik itu dapat disaksikan pada saat penyelenggaraan masa kampanye menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum, yang oleh sejumlah jurkam dalam menyampaikan program-programnya sangat muluk-muluk dan serba semuanya yang indah-indah untuk di dengar, agar mendapatkan simpati rakyat.
12 Suatu yang ironis, partai politik berlomba-lomba menjalankan programnya menjelang dan sampai pelaksanaan pemilu untuk mencari simpati rakyat, tetapi setelah pemilu berakhir, maka berakhir pulalah rangkaian program sejumlah partai politik, sehingga fungsi-fungsi partai politik beralih kepada wakilnya di lembaga legisltif, kalau seandainya tidak berhasil meloloskan kadaernya, maka sampai saat itulah partai politik bersangkutan memainkan peranya.
13 Selengkapnya lihat ulasan Miriam Budiardjo, dalam buku karangannya “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Penerbit Gramedia Jakarta, 1988.
14 Perdebatan panjang soal ini sudah berlangsung cukup lama. Perbedaan jalan berfikir antara Soekarno dkk dan Hatta dkk, misalnya di saat awal negara dibangun, tidak menemui titik temu, sehingga Hatta dengan sangat terpaksa mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Pertentangan soal ini kemudian menguat di awal-awal era reformasi, sebagian pemikir berbicara tentang perlunya reformasi sistem politik, tetapi pada saat yang bersamaan ada juga yang mencoba bersuara lain bahwa jauh lebih realistis memikirkan pembaharuan budaya politik.
15 Ignas Kleden dalam Kata Pengantar “Perspektif Pers Indonesia” karangan Jakob Oetama, LP3S, Jakarta 1987.
16 Max Webwr, “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)
17 Baca artikel Ignas Kleden “Budaya Politik atau Moralitas Politik?” yang dimuat Harian Kompas, 12 Maret 1998.
18 Gerakan pemuda untuk perubahan bangsa memiliki perbedaan orientasi. Pra-kemerdekaan memiliki kesinambungan dari upaya membangun nasio-nalisme, klaim persatuan nusa-bangsa-bahasa, dan pencapaian kemerdekaan indonesia. Pasca-kemerdekaan, setelah pemerintahan terbentuk, gerakan pe-muda tidak memiliki lagi kesinambungan orientasi tetapi tergantung pada situasi dan kondisi sistem negara yang perlu dilakukan perubahan.
19 Istilah ini digunakan Ben Anderson seorang indonesianis yang melakukan penelitian dalam penyusunan disertasinya pada Universitas Cornell Amerika Serikat, dengan judul “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945”, yang diselesaikannya tahun 1967.
20 Uraian tentang ini lebih orisinil diulas berdasarkan perspektif tang-gungjawab pers oleh Jakob Oetama dalam buku kumpulan tulisannya “Pers-pektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
21 Dirk Huels “Kritischer Rasionalismus: Eine Zitgemaesse Philosophie?”, dalam Frans Neumann (Ed), Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.
22 Istilah ini digunakan oleh Idrus Marham (Ketua Umum DPP KNPI) dalam penguraian lengkapnya “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, dalam jurnal pemikiran kaum muda RESONANSI, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Kepustakaan:
1. Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
2. A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996
3. Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
4. Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.
5. Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
6. Max Webwr. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya Bab I)
7. Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.
8. Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
9. Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.
10. Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
2. A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996
3. Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
4. Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.
5. Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
6. Max Webwr. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya Bab I)
7. Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.
8. Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
9. Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.
10. Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Sumber: Buku “Pemuda dan Politik”,
Penerbit: Badko HMI, PBHI dan DPD KNPI Sulsel, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar