Daftar Blog Saya

Kamis, 15 April 2010

SITUASI SOSIAL POLITIK DI TANAH PAPUA - PROVINSI PAPUA BARAT
      Tanggal :  29 Nov 2007
      Sumber :  Simpul Kepala Burung Papua


Prakarsa Rakyat,

Inisiatif Perlawanan Lokal Simpul Kepala Burung Papua,  Januari - Maret 2007

Oleh : Proton


Pengantar

Tulisan ini merupakan update situasi sosial, poltik, ekonomi, bidaya, keamanan di Papua dan Papua Barat bulan Januari-Maret. Laporan ini berisikan berbagai peristiwa/kasus yang terjadi dan dianggap mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan politik dan keamanan di tanah Papua.


Analisis

Dari berbagai hal yang terjadi di Papua awal tahun 2007 ini, peristiwa politik yang paling besar menjadi bahan diskusi di tingkat kelas menengah adalah issu pemekaran baik propinsi maupun kabupaten yang terus bergulir cepat. Suara pemekaran yang kontroversial (karena banyak juga pihak yang tidak setuju)  dimulai dari wilayah barat yang menginginkan pembentukan Propinsi Papua Barat Daya atau PBD (15 Januari 2007), tak lama kemudian disusul oleh deklarasi Papua Selatan (12 Pebruari 2007), dan pada saat yang sama kembali mencuat tuntutan reaktivasi pemekaran propinsi Papua Tengah atau Irian Jaya tengah.  

Propinsi Papua Barat Daya, mengkalim Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Teluk Bintuni sebagai bagian dari wilayahnya. Sementara itu Papua Selatan direncanakan meliputi 4 wilayah yakni Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi dan Asmat. Sedangkan Irian Jaya Tengah direncanakan berpusat di Nabire, dengan cakupan wilayah-wilayah di perairan Teluk Cendrawasih yang meliputi Kabupaten Biak, Kabupaten Serui, Kabupaten Nabire, Kabupaten Yapen Waropen, dan Kabupaten Supiori.

Jumlah kabupaten di masing-masing calon propinsi di atas masih akan bertambah seiring pembentukan kabupaten-kabupaten baru yang juga terus berjalan. Memang tidak ada undang-undang maupun ketetapan yang menyatakan tentang berapa jumlah daerah yang akan dimekarkan. Elite-elite Papua sejak masa Gubernur J. Patipi, telah mempersiapkan Papua ke depan akan terpecah menjadi 6 propinsi berdasarkan etnografi, yaitu bagian kepala burung (ritus Kain Timur), bagian sayap (ritus Bomberai), teluk cendrawasih (ritus Saireri), pantai utara (ritus Tabi/humbolt), pantai selatan (ritus H-Anim), dan pegunungan tengah (Lani/Dani). Pembagian ini berdasarkan UU 45/1999 tentang pemekaran Papua dan UU 21/2001 tentang Otsus yang mensyaratkan kesamaan sosial budaya masyarakat di tiap satuan wilayah pemekaran.    

Namun dalam perkembangannya menurut perhitungan berbagai pihak, kemungkinan besar akan ada 7 propinsi yang bakal terbentuk yakni; bagian barat daya (Papua Barat Daya), bagian barat (IJB yang pada tanggal 7 Pebruari 2007 dideklarasi berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat), bagian teluk cendrawasih (Teluk Cendrawasih), bagian selatan (Papua Selatan), bagian pegunungan tengah (Papua Tengah), bagian timur yang merupakan propinsi induk (Papua), serta bagian utara (Papua Utara).  

Demam pemekaran kini tengah melanda seluruh tanah Papua, mereduksi issu merdeka yang beberapa tahun lalu marak terdengar. Namun yang jelas pemerintah pusat masih memegang peran penting dalam seluruh proses pemekaran di Papua. Kata orang: jika Jakarta menghendaki apapun, maka terjadilah kehendaknya di tanah Papua.
Kalimat pernyataan Kehendak Jakarta yang terjadi di Papua, secara sederhana menunujukkan kepada kita bahwa, pemerintah lokal di Papua (Gubernur-Kepala Kampung) tidak memiliki "Kekuatan Hukum" untuk mengatur wilayah kerjanya dengan bebas. Semua harus tunduk pada keputusan Jakarta. Selain itu juga mengisyaratkan persoalan lain, bahwa masyarakat adat yang tinggal tanah Papua, hanya memiliki hak tinggal dan pakai atas tanah-tanah adat yang ada, sedangkan hak kepemilikan ada pada negara dan oknum-oknum Birokrat, Militer, Pengusaha, dll, yang memiliki kekuatan politik dan modal.

Dengan kekuatan hukum dan modal yang dimiliki sehinga dengan mudah dapat melakukan apa saja yang mereka mau di tanah Papua, seperti kapling tanah rakyat, memberikan ijin tebang hutan kepada pengusaha HPH, Tambang, dll di Jakarta tanpa melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk meminta ijin, masalah paling tragis adalah penangkapan-pembunuhan terhadap rakyat Papua yang melakukan protes terhadap sistem tersebut (dan dicap sebagai "separatis").

Perubahan-perubahan yang terjadi di Papua dari waktu ke waktu, sangat mengejutkan kita, dengan kebebasan luarbiasa yang dimiliki oleh oknum-oknum di pemerintahan (Eskekutif, Legislatif, Yudikatif dan Keamanan) yang melakukan kehendaknya sesuka hati di Papua untuk kepentingan pribadi, oraganisasinya.

Kondisi ini membuat masyarakat adat Papua  Berjalan dari Tanda Bingung yang satu ke Tanda Bingung yang lain. Melihat konflik perebuatan kekuasaan politik antar elite Papua yang disponsori oleh elite politik di Jakarta, perebutan sumber daya alam antar masyarakat mulai dari tingkat Kampung, Distrik, Kabupaten,Provinsi sejak UU. No.21/2001 dikeluarkan dan diberlakukan di Papua.

Rasa keadilan yang didambahkan masyarakat, hanya impian semata karena di Papua tidak ada keadilan. Keadilan hanya ada di Uang, Kekuasaan, Senjata, dan Pengadilan yang merupakan permainan politik kekuasaan Negara yang sentralistik-militeristik.  

O.P.M (Otonomi, Pemekaran, Merdeka)

Pemecahan Papua menjadi beberapa propinsi atau pembentukan propinsi baru  mensyaratkan beberapa hal, diantaranya: jumlah penduduk, jumlah dan keluasan wilayah, ketersediaan infrastruktur terutama telekomunikasi dan transportasi, kesiapan sumber daya manusia, serta yang terpenting adalah pemekaran merupakan aspirasi mayoritas rakyat di wilayah bersangkutan. Aspirasi pemekaran disampaikan kepada DPR Papua sebagai propinsi Induk dan Majelis Rakyat Papua (MRP), untuk kemudian dinilai apakah aspirasi tersebut layak atau memenuhi syarat untuk diwujudkan.

Namun di luar yang tertulis dalam undang-undang, beberapa aspek berkaitan dengan pemekaran dapat dianalisis sbb:

  a.. Keinginan Jakarta meredam Merdeka. Pasca kongres Papua II pada tahun 2000, aspirasi merdeka bergaung di seluruh pelosok Papua. Saat itu Gus Dur sebagai presiden memberikan banyak hal yang diinginkan oleh Papua. Namun UU Otsus kemudian terbit pada akhir tahun 2001 untuk meredam tuntutan merdeka yang menguat tersebut. Pada masa pemerintahan Megawati, issu M semakin ditekan dengan penerbitan Inpres No 1 tahun 2003 tentang percepatan pemekaran wilayah. Pemekaran dimulai di wilayah kepala burung yang saat itu relatif sepi aksi-aksi M-nya dibandingkan Papua wilayah timur dan pegunungan tengah. Di samping itu, daerah-daerah di kepala burung adalah basis kuat PDIP, yang dengan mudah dimobilisasi dukungannya terhadap seruan Megawati. Mencuatlah nama Jimmy Demianus Ijie sebagai motor pemekaran yang dengan cepat membentuk tim 315 (sesuai jumlah anggota tim), dan Bram Atururi sebagai pion yang kelak memegang tampuk pimpinan di IJB. Jimmy Ijie kemudian menjadi ketua DPRD IJB.
  b.. Proyek bagi segelintir orang. Setelah IJB berhasil terbentuk, para tim sukses yang dulu terlibat dalam proses-prosesnya kemudian mendapatkan jabatan tertentu dalam pemerintahan propinsi. Para anggota tim 315 membentuk LSM bernama Irian Jaya Crisis Center (IJCC), yang salah satu fungsinya adalah mengakomodir berbagai tender pembangunan dari pemerintah IJB. Jimmi Ijie tidak berhenti sampai di situ. Setelah sukses dengan pembentukan IJB, ia bersama dengan Daud Obadiri, IJCC, dan didukung oleh PDIP (serta "BIN") mereka kembali melakukan manuver untuk mendorong reaktivasi pemekaran Irian Jaya Tengah (IJT). Meski beberapa daerah di Papua Tengah tidak ingin pemekaran, namun issu tersebut terus dihembuskan. Pembentukan propinsi baru menjanjikan proyek pembangunan yang berlimpah-limpah bagi orang-orang tertentu.
  c.. Hasrat berkuasa para politisi yang kalah dan post power sindrome. Setelah IJB sukses sebagai propinsi secara de facto maupun de jure, tuntutan pemekaran propinsi lainpun marak. Namun disangsikan bahwa aspirasi pemekaran adalah keingingan rakyat bawah di tiap wilayah. Lihat saja, PDB dideklarasikan salah satunya oleh Dorotheus Asmuruf yang tersingkir dalam Pilkada IJB. Asmuruf yang eks sekda Papua pada masa gubernur Jap Salosa kini tidak memegang jabatan apapun. PDB juga didukung oleh John Piet Wanane yang sebentar lagi pensiun dari jabatan bupati kabupaten Sorong. Hal yang sama juga bisa dibaca dari deklarasi Papua Selatan, dimana Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze yang memimpin deklarasi ini beberapa bulan lagi akan pensiun. Gebze berpeluang besar menjadi gubernur pertama Papua Selatan.
Di tingkat kabupaten, terdengar issu akan dibentuknya kabupaten Arfak yang sekarang berada di bawah Manokwari. Bupati Manokwari Dominggus Mandacan beberapa bulan lagi akan meletakkan jabatannya, diduga setelah itu ia akan pulang kampung untuk memimpin pemekaran kabupaten Arfak. Hasrat pemekaran kabupaten juga muncul di Teluk Bintuni, dimana distrik Babo dan Idoor dikabarkan juga akan memisahkan diri, Care taker bupati Teluk Bintuni Deky Kawab yang kalah dalam Pilkada Teluk Bintuni kabarnya adalah aktor di belakang rencana pemekaran tersebut. Lain halnya dengan pemekaran kabupaten Tamrau (sekarang di bawah kabupaten Sorong), John Piet Wanane yang sebulan lagi pensiun dari Bupati Sorong mendorong pemekaran Tamrau, diduga dalam rangka untuk menggenapi persyaratan jumlah wilayah untuk menggolkan proposal pembentukan PBD.

  a.. Dominasi dan konflik kesukuan. Deklarasi pemekaran propinsi dan kabupaten juga tak lepas dari keinginan mendominasi dari suku-suku tertentu di Papua. Deklarasi PDB dicurigai bermuatan Ayamaruisasi (hasrat suku Ayamaru-Maybrat menguasai beberapa posisi penting di Papua). Pada masa kekuasaan Jap Salosa yang bersuku Ayamaru, banyak kepemimpinan politik dan birokrasi di Papua dipegang etnis Maybrat (biasa dijuluki A3: Aitinyo, Aifat, Ayamaru). Setelah wafatnya Gubernur Papua Jap Salosa, dominasi suku tersebut melemah. Naiknya Bram Atururi (IJB) yang beretnis Serui dan Barnabas Suebu yang beretnis Sentani (Papua) sangat didukung oleh suku-suku lain di Papua, dengan harapan ia dapat memotong dominasi A3 di jajaran pemerintahan IJB. Bupati Manokwari, Dominggus Mandacan, menyatakan bahwa suku Arfak akan mengirim sinyal pertumpahan darah ke Sorong jika PBD terbentuk, karena PBD akan mencaplok wilayah Teluk Bintuni yang menurut Mandacan adalah wilayah kekuasaan suku Arfak (Fajar Papua, Sabtu 30 Desember 2006)
  b.. Memperpendek rentang kendali keamanan. Selalu dikatakan oleh para pejabat lokal maupun pusat bahwa pemekaran papua adalah dalam rangka memperpendek rentang kendali pembangunan. Namun bisa dipastikan bahwa pemekaran dan pembentukan daerah administratif baru akan diikuti dengan pembentukan instansi militer mulai dari propinsi hingga distrik. Bagi Papua, institusi militer dan pendekatan keamanan adalah masalah yang sangat besar, terutama bagi penduduk aslinya. Droping pasukan anorganik akan semakin banyak, dan sampai-sampai  Cornelis Lay mengatakan; ibaratnya 1 orang Papua akan dijaga oleh beberapa tentara sekaligus.
  c.. Memperpendek jalur birokrasi intensifkan pelayanan terhadap modal. Memperpendek rentang kendali pembangunan, juga berarti memangkas jalur birokrasi dan pelayanan pemerintah terhadap rakyat. Namun dipastikan Papua ke depan akan semakin banjir investasi, terutama perusahaan-perusahan pemburu bahan mentah mulai dari kayu, bahan tambang, dan isi lautan, terus masuk hingga jauh ke wilayah-wilayah yang belum terambah. Pemekaran wilayah Papua juga berarti memangkas birokrasi sehingga pelayanan terhadap investasi akan semakin efisien. Ini adalah hal yang sangat dikehendaki oleh kaum modal, karena halang rintang terhadap investasi dan cost akan semakin mengecil. Undangan simpatik terhadap para pemodal pun diteriakkan keras-keras, misalnya seperti yang dilakukan oleh para deklarator Papua Selatan yang mencanangkan 2007 sebagai tahun investasi yang ditandai dengan pelepasan tanah-tanah adat beberapa suku di Merauke (Cendrawasih Pos, 13 Pebruari 2007).
  d.. Membanjirnya Migran dari luar Papua. Daerah baru membutuhkan jumlah penduduk yang memadai untuk dapat memenuhi syarat pemekaran. Penduduk papua saat ini terbilang sangat kecil (2,4 juta orang) dibandingkan luasan wilayah yang mencapai 422.981 km2 (berarti 6 orang per km2). Berhembus issu bahwa program transmigrasi ke Papua akan dihidupkan kembali untuk meramaikan wilayah-wilayah yang akan dan baru terbentuk. Kedatangan penduduk baru ini juga dipicu oleh munculnya investasi-investasi baru di seluruh bumi Papua. Dapat dibayangkan, penduduk asli Papua yang saat ini mayoritas seperti terasing di negerinya sendiri, akan semakin memburuk posisinya. Kita bisa melihat sejarah peminggiran dan musnahnya penduduk asli di Canada, Amerika, Australia, dan Selandia Baru.
Implikasi pemekaran yang sekarang bisa dilihat adalah terjadinya konflik perebutan sumber daya alam antar propinsi, kabupaten, distrik dan kampung. Contoh : Teluk Bintuni yang kaya bahan tambang, dijadikan obyek rebutan antara IJB dan PBD. Sementara itu sumur gas yang dikelola BP tangguh di perbatasan Aranday-Inanwatan mulai menimbulkan konflik antara pemerintah kabupaten Sorong Selatan dan Teluk Bintuni. Secara khusus konflik tanah di bintuni (lokasi eksploitasi tambang gas) oleh British Petrolium dengan masyarakat adat di Saengga, Tanah Merah dan sekitarnya.


Hal yang sama juga terjadi antara Kabupaten Sorong dengan Kabupaten Raja Ampat soal Sumber Minyak di Salawati, saat ini Salawati diklaim oleh Kabupaten Sorong masuk dalam wilayah administrasinya. Sementara itu masyarakat adat setempat mulai protes dan ingin bergabung dengan Kabupaten Raja Ampat karena mereka menganggap Salawati adalah merupakan pulau dan masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Raja Ampat. Konflik sementara dalam proses penyelesaian yang difasilitasi oleh DPRD Provinsi Irian Jaya Barat/Papua Barat (Radar Sorong, 20 Maret 2007). Buntut dari konflik ini setelah difasilitasi oleh Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi Papua barat (18/3/07) bupati dan ketua DPRD Kabupaten Sorong tidak hadir dalam proses penyelesaiaan konflik tersebut . (Saya sangat menyesalkan mengapa mereka tidak hadir, Tapi mudah-mudahan ini bukan merupakan pelecehan". Ketidak hadiran Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Sorong dalam pertemuan penyelesaian masalah Salawati dianggap oleh Gubernur sebagai merupakan upaya mempertahankan Salawati tetap masuk dalam wilayah administratif kabupaten sorong demikian pernyataan Gubernur) (Radar Sorong,20 Maret 2007)

Konflik antar pemerintah kemudian merembes kepada kehidupan masyarakat dimana saling mengklaim tanah adat antar masyarakat pemilik hak ulayat saat ini terus berlangsung di Papua (kasus Bandara Sorong Daratan/Bandara DO. Osok) saat ini masih menjadi masalah antara masyarakat pemilik hak ulayat dengan pihak Pemerintah Kabupaten-kota Sorong dan berbagai contoh konflik lain terus menerus masih terjadi di Tanah Papua.

Perkembangan Politik Wilayah Kepala Burung Provinsi Papua Barat, sedang menjurus pada konflik yang disebabkan oleh masalah Pemerintahan ( Pilkada, batas wilayah administratif antara Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat, gencarnya pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat Daya), masalah sumberdaya alam (ilegal loging, ilegal fishing, perkebunan kelapa Sawit, pembebasan tanah adat untuk pembangunan instalasi TNI AL) Perebuatan kekuasaan pengamanan antara TNI dan POLRI di Bintuni, Sorong, Raja Ampat, Sorong Selatan.(Proton)

http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/artikel.php?aid=23452

Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus
BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik
itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak
tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Urgensi etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun
demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik
menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi.
Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan
perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi
korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan
reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik
yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan
yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian
semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus
konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu
menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku
individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya
hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun
institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin
terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah
cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan
perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan
kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif
(etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam
tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara
pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi
menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai:
simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui
simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan
kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik
akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah
struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami
sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki
integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak
mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai
keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang
memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik
diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para
pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas
moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia
akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan
hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung
mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan
kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang
mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun
caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan
hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral
menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada
kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun
institusi-institusi yang lebih adil.
Institusi sosial dan keadilan prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat,
seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat
berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi
sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa
depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah
merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi
yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama
sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral
politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten
kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan
urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan
prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan,
hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi
adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir"
dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil
dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga
sama besarnya.

Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang
dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang
pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan
semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur
sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan
kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum
yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang
baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis
bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya.
Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu
ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang
paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga
terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau
yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak
dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.

DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Sumber: http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia

  Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.
Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.
Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang mmicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .
Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN DEWASA INI
Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.
Penerapan teknologi maju
Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).
Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sector kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.
Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)
Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.
Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.
Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus nmampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olahkehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan. Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan pendudduk sehari-hari. Seolah-olah terah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak.
Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk.
PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.
PENDIDIKAN
Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga ssosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).
Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.
Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.
Di samping pendidikan, penegakan hukum diperlukan untuk menjain keadilan sosial dan demokratisasi kehidupan berbangsa dalam era reformasi yang memicu perlembangan sosial-budaya dewasa ini. Kebanyakan orang tidak menyadari dampak sosial reformasi, walaupun mereka dengan lantangnya menuntut penataan kembali kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sesungguhnya reformasi mengandung muatan perubahan sosial-budaya yang harus diantisipasi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima pembaharuan yang seringkali menimbulkan ketidak pastian dalam prosesnya.
Tanpa penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, perkembangan sosial-budaya di Indonesia akan menghasilkan bencana sosial yang lebih parah, karena hilangnya kepercayaan masyarakat akan mendorong mereka untuk bertindak sendiri sebagaimana nampak gejala awalnya dewasa ini. Lebih berbahayalagi kalau gerakan sosial itu diwarnai kepercayaan keagamaan, seperti penatian datangnya ratu adil dan gerakan pensucian (purification) yang mengharamkan segala pembaharuan yang dianggap sebagai “biang” kekacauan.
Betapaun masyarakat harus siap menghadapi perubahan sosial budaya yang diniati dan mulai dilaksanakan dengan reformasi yang mengandung makna perkembangan ke arah perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
sumber :www.wikimu.com

    Demokrasi sebagai Proses Sejarah dan Sosial
  • Oleh: Daniel Sparringa
    Sejak tiga dekade terakhir dunia menyaksikan kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan demokrasi. Sejak 1972 jumlah negara yang mengadopsi sistem politik demokrasi telah meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 44 menjadi 107. Pada akhir 90-an, hampir seluruh negara di dunia ini mengadopsi pemerintahan demokratis, masing-masing dengan variasi sistem politik tertentu. Kecenderungan ini menguat terutama setelah jatuhnya pemerintahan komunis di akhir tahun 80-an dan karenanya telah menjadikan demokrasi sebagai "satu-satunya alternatif yang sah terhadap berbagai bentuk regim otoritarian". Secara sosiologis mungkin ini merupakan salah satu perubahan terpenting yang menandai tahun-tahun akhir milineum kedua; sebuah perkembangan yang oleh Huntington dikonseptualisaikan sebagai "gelombang ketiga demokratisasi" Secara konseptual, pembangunan demokrasi di sebuah negara tidak lagi dilihat sebagai hasil-hasil dari tingkat modernisasi yang lebih tinggi sebagaimana ditunjukkan melalui indikator-indikator kemakmuran, struktur kelas borjuasi, dan independensi ekonomi dari aktor-aktor eksternal. Melainkan, lebih dilihat sebagai hasil dari interaksi-interaksi dan pengaturan-pengaturan strategis di antara para elite, pilihan-pilihan sadar atas berbagai bentuk konstitusi demokratis, dan sistem-sistem pemilihan umum dan kepartaian. Pemikiran ini didasarkan pada argumentasi sentral bahwa pengalaman Barat tentang demokrasi tidak akan dapat diulang dengan arah yang sama di negara-negara sedang berkembang.
    Sebagai sebuah konsep teoritis maupun politis, demokrasi jelas sekali terikat oleh faktor-faktor kesejarahan yang terjadi di Eropa sepanjang abad 17 hingga 19. Prosesnya sendiri telah dimulai pada abad pertengahan ketika dunia, khususnya Eropa, dilanda reformasi, dan kemudian revolusi, sosial.
    Reformasi intelektual yang mengubah Eropa, dan kemudian dunia, merupakan proses sosial dan sejarah yang amat panjang, bahkan prinsip-prinsip dasarnya mungkin telah diawali dengan diperkenalkannya institusi modern yang disebut dengan universitas. Dalam buku klasiknya yang terkenal itu, The Triumph of Science and Reason, Nussbaum dengan jelas memberikan ilustrasi sejarah tentang bagaimana masyarakat modern Eropa digerakkan oleh berbagai kekuatan yang saling berkaitan. Dalam hal demikian itu, Nussbaum menyebut faktor-faktor seperti surutnya monopoli institusi gereja, kemudian negara, dalam mengkontrol 'kebenaran' (yang memberi arti penting bagi diletakkannya tradisi berpikir bebas yang menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad-abad selanjutnya), dan mulai surutnya masyarakat Feodal di akhir abad ketujuhbelas, sebagai sejarah yang sangat penting dalam menentukan perkembangan sosial, seperti, parlementarisme dan pengakuan terhadap civil liberty.

    Sampai dengan tahun 60-an dan 70-an, peneliteian-peneliteian tentang demokrasi, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil kerja dari Lipset (1959), Almond dan Verba (1963), Dahl (1971), O'Donnell (1979), banyak didominasi oleh upaya untuk menemukan kondisi-kondisi dan persyaratan-persyaratan lainnya yang diperlukan guna munculnya sebuah demokrasi yang stabil. Dalam perkembangannya sampai dengan dekade lalu, studi tentang demokrasi diwarnai terutama oleh upaya untuk memahami dinamika dari transisi demokratis dan konsolidasi. Hanya dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi pergeseran arah studi mengenai demokrasi. Peneliteian belakangan ini memfokuskan perhatiannya pada peran para pemimpin politik dan elite strategis lainnya dalam proses demokrasi.

    Dalam ikhwal ini banyak para ahli ilmu sosial dewasa ini cenderung untuk berpikir bahwa transisi menuju demokrasi, khususnya di negara-negara sedang berkembang, jarang sekali merupakan hasil dari faktor-faktor yang digerakkan oleh tindakan-tindakan politik massa. Dengan kata lain, kesuksesan dalam proses perubahan dan konsolidasi menuju demokrasi lebih banyak ditentukan oleh para elite politik , di samping perkembangan politik yang berlangsung di tingkat global dan internasional. Beberapa bahkan berargumentasi bahwa sesungguhnya demokrasi semestinya diperlakukan sebagai suatu hasil yang dapat direkayasa secara sosial sepanjang terdapat craftsmanship di kalangan para elite politik. . Cara pandang semacam ini jelas menolak argumentasi yang menganggap bahwa demokrasi tak dapat ditranplantasikan di tanah asing, di luar konteks sosial dan budaya di mana demokrasi itu pada awalnya dikembangkan.

    Mengikuti argumentasi ini, tulisan ini mengambil posisi teoritis yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya perubahan menuju demokrasi di Indonesia akan menjadi lebih feasible apabila para elite politik Indonesia sebagai agen perubahan sosial memiliki peralatan-peralatan teoritis dan ideologis yang memadai untuk memahami dan terlibat dalam proses-proses transisi demokrasi. Ini berarti, faktor-faktor yang berhubungan dengan budaya dan struktur politik tidak dilihat sebagai struktur operasional yang konstan dan stabil, melainkan dilihat sebagai arena diskursus yang dinamis yang melibatkan proses-proses konstruksi dan dekonstruksi dari para individu sebagai agen, khususnya para elitenya , daripada semata-mata sebagai representasi dari struktur. .

    Bukti-bukti empiris terhadap kecenderungan semacam ini sebenarnya dapat dilihat dari makin meluasnya gerakan-gerakan oposisi di Indonesia yang mulai marak pada awal tahun 90-an yang pada dasarnya digerakkan oleh elite dari berbagai golongan, misalnya intelektual, mahasiswa, buruh, dan LSM, daripada oleh kekuatan-kekuatan yang secara langsung tumbuh dari massa. Ini tidak berarti bahwa tidak terdapat masalah yang serius dalam ihwal itu. Perbedaan yang besar di antara diskursus resmi dan diskursus alternatif tentang bagaimana demokrasi itu dikonstruksikan merupakan satu persoalan besar yang menghadang masa depan demokrasi di Indonesia. Kesenjangan semacam itu juga terdapat di kalangan elite dan massa, di antara aktor politik yang berada di parlemen dan di luar parlemen, bahkan di antara generasi yang lebih tua dan muda.


    KID dan Prinsip-prinsip Demokrasi

    Berdasarkan pemikiran-pemikiran itu, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) menganggap perlu untuk mendorong proses demokratisasi secara lebih konseptual dan sistematis melalui prakarsa bersama yang melibatkan individu-individu dari berbagai kalangan intelektual, profesi, praktisi, dan aktor-aktor politik strategis yang berada di lingkungan partai politik, dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Tujuan utama dari prakarsa bersama yang bernama KID ini adalah dikembangkannya pengetahuan, kesadaran, nilai-nilai dan etika serta praktik demokrasi yang menghasilkan tradisi demokrasi yang lebih sejati. Kriteria kesejatian demokrasi di sini terutama terkait pada lima prinsip berikut ini.

    Pertama, demokrasi adalah mekanisme yang memastikan bahwa kekuasaan yang dipakai untuk mengatur kehidupan bersama selalu harus datang dari persetujuan dari mereka yang akan terkena akibat dari kekuasaan itu. Dengan kata lain, demokrasi adalah seluruh aturan, prosedur, dan protokol yang memastikan bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan yang sebenarnya dan pada saat yang sama meneguhkan satu doktrin umum bahwa mandat kekuasaan yang diemban oleh para wakil rakyat, presiden dan pejabat publik lainnya adalah bersumber dari rakyat dan tidak dari sumber lainnya selain rakyat.

    Kedua, demokrasi bukan hanya mekanisme melainkan juga adalah sebuah integrasi dari nilai-nilai, norma-norma, dan etika yang memberi landasan pokok tentang bagaimana seluruh kompleksitas tentang kebebasan, perbedaan, dan kekhususan itu hendak dikelola dalam sebuah kehidupan bersama yang di satu pihak dapat menjamin stabilitas politik yang didasarkan pada prinsip perubahan dan keberkelanjutan (change and contuinity) dan di pihak lain dapat mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Ini berarti bahwa demokrasi semestinya diperlakukan sebagai sebuah ruang publik yang memberi tempat kepada sebuah pengakuan yang hakiki terhadap perbedaan (pluralisme) dan sekaligus penghormatan (toleransi) kepadanya.

    Ketiga, aturan dasar tentang majority rule yang mengatur pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak tidak dapat mengabaikan sedikitpun prinsip yang mengakui kesetaraan (equality) , keadilan (justice) , kemanusiaan (humanism) dan prinsip-prinsip lainnya yang melekat dalam hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, demokrasi sejati yang hendak dikembangkan oleh KID adalah demokrasi yang dapat mencegah semua bentuk maksud penindasan atas manusia dan kemanusiaan untuk dan atas nama demokrasi. Demokrasi dalam pengertian ini terikat pada ajaran yang diletakkan kepada kepercayaan umum bahwa demokrasi memberikan dasar yang kokoh bagi usaha manusia untuk menjadi individu yang bermartabat.

    Keempat, demokrasi memberi pijakan yang kuat pada individu, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama kelompoknya, untuk memperjuangkan kepentingan dan kepercayaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya atas dasar pada keputusannya sebagai individu atau anggota sebuah kelompok yang mencerminkan kemampuannya sebagai manusia yang bebas untuk membuat dan menentukan pilihan-pilihannya sendiri secara bertanggung jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (social-self determination). Ini berarti bahwa, esensi demokrasi yang diperjuangkan oleh KID tidak hanya berdasarkan pada pengakuan bahwa individu memiliki kebebasan untuk membuat dan menentukan pilihan tetapi juga melekat di dalamnya sebuah tanggung jawab sosial untuk memperhatikan implikasi keputusan itu pada nasib individu lainnya.

    Kelima, dalam sebuah masyarakat yang secara etnik dan kultural yang sangat majemuk seperti Indonesia, KID mengembangkan satu kepercayaan umum bahwa demokrasi akan memiliki kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang apabila nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal itu dapat berdampingan dalam hubungan yang bersifat saling memperkuat eksistensinya dengan nilai-nilai partikular dan lokal. Diktum yang dianut oleh KID dalam hubungannya dengan ini adalah, hendaknya nilai-nilai partikular dan lokal yang berkembang dalam masyarakat majemuk Indonesia ini dapat digali untuk dikembangkan dan disandingkan dengan dan untuk memperkuat nilai-nilai universal demokrasi. Adalah sangat jelas di sini bahwa tujuan akhir dan utama dari proses ini adalah tidak untuk mengurangi esensi universalitas dari demokrasi, melainkan untuk membuat demokrasi menjadi sebuah kesatuan nilai, norma, etika, dan tradisi yang memiliki integrasi yang kokoh dan relevansi sosial dengan nilai-nilai yang bersifat partikular dan dan lokal yang terdapat dalam masyarakat majemuk Indonesia.



    KID dan Prakarsa Bersama untuk Membangun Demokrasi:
    Sebuah Respon Generik dan Generatif


    KID adalah sebuah prakarsa bersama yang bersifat inklusif dan keanggotaanya bersifat terbuka yang layaknya dianut dalam organisasi yang berbentuk perkumpulan. Sebagai sebuah prakarsa bersama, KID dimaksudkan sebagai sebuah perkumpulan yang memfasilitasi usaha membangun demokrasi yang memiliki konteks dan relevansi sosial dengan tantangan dan kebutuhan Indonesia, Penegasan kepada konteks dan relevansi sosial dimaksudkan untuk membuat prakarsa bersama ini menjadi sebuah perkumpulan yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perluasan gerakan sosial dalam masyarakat untuk mengembangkan demokrasi sebagai nilai, etika, dan norma yang dipraktikkan sebagai tradisi dalam kehidupan kolektif pada tingkat masyarakat sipil (civil society) dan negara (state).

    Selain itu, penegasan pada prinsip prinsip bersama dimaksudkan untuk meneguhkan bahwa KID adalah sebuah perkumpulan yang didirikan untuk kepentingan bersama dan diorientasikan semata-mata kepada tujuan bersama yang tidak lain adalah mendorong demokratisasi sebagai sebuah proses sosial yang kreatif dan membuka diri terhadap berbagai penemuan akan gagasan-gagasan baru. Karena itu, KID sejak awal dinyatakan sebagai sebuah respon yang bersifat generik dan generatif.

    Sebagai sebuah gagasan awal, KID diniatkan menjadi sebuah lembaga sosial yang memiliki komitmen untuk membangun demokrasi melalui kegiatan-kegiatan pelayanan yang mengambil bentuk forum, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengkajian, fasilitasi, mediasi dan advokasi, serta jejaring sosial yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Penentuan wilayah pelayanan KID didasarkan pada ketersebaran, kebutuhan, dan ketersedian akses untuk menjalankan program-program. Karena itu, KID membuka diri terhadap kerjasama dengan berbagai lembaga swadaya masayarakat (LSM) dan individu dari berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya. Dengan pendekatan kemitraan ini, sinergitas yang mencerminkan prakarsa bersama untuk membangun demokrasi di Indonesia dapat diharapkan menjadi sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan usaha serupa sebelumnya yang secara keseluruhan dapat menghasilkan integrasi pencapaian tujuan yang lebih efektif.
    SUMBER : Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Pelajaran dari Makam Mbah Priok

E-mail Cetak PDF
SIMPUL - Bentrokan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan masyarakat di makam Mbah Priok kemarin mengingatkan kita pada peristiwa berdarah 26 tahun silam, tepatnya Tragedi Priok 1984. Dua peristiwa yang sama-sama menelan korban jiwa itu terjadi di kawasan yang sama: Tanjung Priok, Jakarta Utara, kawasan yang berkarakter keras dengan masyarakat yang sangat agamais.

Isu yang menjadi persoalan dua peristiwa itu memang berbeda. Namun, banyak hal yang membuat tragedi itu mempunyai kemiripan. Paling tidak, darah sama-sama membasahi tanah Priok. Itu berarti sama-sama menunjukkan adanya represi aparat keamanan yang membuat situasi menjadi tidak terkendali.

Dalam tragedi 1964, bentrokan muncul karena warga menolak asas tunggal Pancasila. Yang terkini, masyarakat marah karena menolak mentah-mentah keinginan Pemda DKI yang akan menggusur kompleks makam tokoh yang menjadi panutan warga setempat: makam Mbah Priok. Tokoh ini menjadi penting karena menyebarkan Islam di kawasan tersebut pada abad 18.

Menolak asas tunggal Pancasila dan menolak penggusuran makam Mbah Priok adalah dua hal yang berbeda. Namun, keduanya mempunyai persamaan, yakni warga merasa tersinggung karena simbolnya terganggu. Tetapi, mengapa kedua peristiwa itu berakhir dengan anarkistis? Apakah itu menunjukkan aparat kita tidak bisa membaca kondisi psikologis massa? Apakah aparat Satpol PP tidak memahami karakter keras dan militan masyarakat setempat?

Korban sudah berjatuhan. Pada Peristiwa Priok 1984, aparat keamanan mengatakan 18 tewas, namun info lain mencapai ratusan jiwa. Saat itu pemerintah Soeharto yang sangat militeristis mengesahkan pendekatan progresif. Yang patut kita sesali, mengapa di era reformasi dan supremasi sipil ini tindakan represif semacam itu muncul lagi?

Peristiwa bentrokan di makam Mbah Priok, yang setidaknya telah memakam dua korban tewas serta puluhan luka berat, menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Terutama bagi para aparat pemerintahan. Salah satu pelajaran penting itu adalah kurangnya komunikasi aparat dengan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah (DKI Jakarta) tidak bisa secara lengkap memberikan informasi kepada masyarakat. Buktinya, aparat mengatakan tidak akan menggusur makam Mbah Priok. Pemda DKI justru akan memugar area makam itu. Mengapa di telinga masyarakat terdengar akan terjadi penggusuran makam. Itu berarti tidak ada komunikasi yang baik.

Hal lain lagi, mengapa Pemda DKI lebih mengedepankan pendekatan represif itu dengan menurunkan pasukan Satpol PP yang begitu besar. Padahal, kondisi psikologis masyarakat setempat sedang tersulut. Itu menunjukkan bahwa penguasa sangat yakin bahwa metode kekerasan sangat ampuh untuk menyelesaikan masalah. Jangan heran kemudian korban berjatuhan. Ini tentu sangat kita sesalkan.

Peristiwa seperti di makam Mbah Priok itu sebenarnya juga banyak terjadi di daerah lain. Sejumlah peristiwa penggusuran yang berakhir dengan ricuh serta memakan korban jiwa juga terjadi karena pendekatan represif itu. Sering penguasa mengambil keputusan untuk menggunakan kekuatan fisik, padahal masih ada ruang dialog.

Bagi aparat atau penguasa di mana saja, jadikanlah peristiwa kerusuhan di makam Mbah Priok itu sebagai pelajaran yang sangat berharga. Dahulukan komunikasi dan sosialisasi kepada rakyat dalam setiap proyek pembangunan. Pastikan bahwa rakyat mengetahui secara utuh apa yang diinginkan pemerintah. Pemerintah juga harus mendengar dan mengakomodasi keinginan rakyatnya.

Tentu, kita tidak menginginkan peristiwa di makam Mbah Priok itu terulang. Apalagi, peristiwa Priok 1984 yang sangat represif dengan menembak masyarakat secara membabi buta. Marilah kita mementingkan dialog dan komunikasi yang intensif. Bukan senjata yang membuat darah mengalir. (*)
sumber : www.simpuldemokrasi.com/dinamika-demokrasi/warga-bicara/2172-pelajaran-dari-makam-mbah-priok.html

Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia

SIMPUL - Materi Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia yang merupakan Modul 2 dari pelaksanaan Simpul Demokrasi menjadi agenda pelaksanaan Sekolah Demokrasi V Detail materi yang dilaksanakan selama pelaksanaan 2 hari sekolah demokrasi tersebut, meliputi: Sistem Politik, Kepartaian dan Pemilu di Indonesia...
Materi Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia yang merupakan Modul 2 dari pelaksanaan Simpul Demokrasi menjadi agenda pelaksanaan Sekolah Demokrasi V Detail materi yang dilaksanakan selama pelaksanaan 2 hari sekolah demokrasi tersebut, meliputi: Sistem Politik, Kepartaian dan Pemilu di Indonesia yang disampaikan oleh penulis modul langsung Prof. DR. Ichlasul Amal, “Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan dalam Demokrasi” yang disampaikan oleh Drs. Luqman Hakim, M.Sc dan “Desentraliasi Sistem Pemerintahan” oleh DR. Mas’ud Said. Sedangkan materi tentang “Klasifikasi Struktur Organisasi Negara” disampaikan melalui metode diskusi kelompok yang dipandu oleh Fasilitator. Begitu pula dengan materi “Pemberdayaan DPR dalam Demokrasi” dilakukan dengan bermain peran dan diskusi kelompok.

Kegiatan dimulai pada 27 Mei 2006, Kegiatan ini dihadiri oleh 20 orang peserta dari 25 orang peserta simpul demokrasi, yaitu; Ainul Yaqin, Any Rufaidah, Ari Wahyu Astuti, Azizah Hefni, Eko Budi Prasetyo, H. M. Taqrib, Hasan Abadi, Henry Wira Novianto, Isnaini Rahayu, Khofidah, M. Wahyu  Trihariadi, Samsul Arifin, Syahrotsa Rahmania, Zany Pria Romadudin, Andry Dewanto, Hikmah Bafaqih, M. Najib Ghoni, M. Nor Muhlas, Dewi Masita, dan M. Munir Aly. Peserta tetap yang tidak hadir adalah 5 orang adalah Daniel E. Molindo, Imron Rosyadi, M. Munir, Siyadi (Izin tidak hadir), dan Gunawan (izin tidak hadir karena ada pelatihan di Jakarta). Peserta tidak tetap 3 orang yang hadir diantaranya; Setyo Wahyudi, Marsudi, Anis Wahyu Harnanik. Kegiatan ini diawali dengan kegiatan pembinaan suasana dengan ice breaking yang dipandu oleh fasilitator. Ice breaking yang dilakukan adalah dengan menebak identitas teman sesama peserta. Fasilitator membagikan form kepada masing-masing peserta yang berisi pertanyaan yang terkait dengan data diri peserta, yang meliputi umur, hoby, yang disukai, yang tidak disukai dan sebagainya. Setelah peserta mengisi form tersebut, kemudian fasilitator mengumpulkan dan membagikan kembali secara acak kepada masing-masing peserta, lalu fasilitator meminta setiap peserta secara bergiliran untuk membaca form isian yang diterimanya dan menebak identitas siapakah yang tertulis dalam form yang diterimanya. Game ini dilaksanakan bertujuan untuk lebih mempererat ikatan antar peserta dengan lebih mengenal karakter masing-masing peserta di samping bertujuan untuk mencairkan suasana sebelum masuk pada materi inti.

Diskusi kelompok tentang prawacana tentang materi tentang sistem politik dan pemerintah (hal 6 dan hal 11 modul) yang dibahas oleh kelompok 1 dan materi tentang Klasifikasi Struktur Organisasi Negara dan Pemerintahan (hal 42 dan 45 modul) dibahas oleh kelompok 2. Setelah dilakukan diskusi kelompok dilakukan diskusi kelas yang dipandu oleh fasilitator dengan cara masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Kelompok satu menyampaikan bahwa permasalahan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh  tidak berjalannya fungsi-fungsi Negara yang banyak diperankankan oleh eksekutif bersama legislative, dalam konteks perumusan kebijakan public actor yang paling banyak berperan justru invisible hand yaitu kelompok pemilik modal. Struktur partai politik yang lebih didominasi oleh DPP seringkali memasung otonomi yang dimiliki oleh struktur partai yang ada di daerah. Dicontohkan dalam hal ini oleh kelompok satu adalah pada saat penetapan calon Kepala Daerah. Kelompok dua mencoba menguraikan beberapa kalsifikasi terhadap bentuk Negara dan bentuk pemerintahan. Inti kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh kelompok dua adalah apapun bentuk Negara maupun pemerintahan, yang penting bagi rakyat adalah kesejahteraan. Peserta dari kegiatan ini sangat aktif dan respon terhadap materi Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia, karena materi ini sesuai dengan perpolitikan, kepartaian, dan sistem pemerintahan Indonesia. Selain itu, mayoritas peserta Sekolah Demokrasi ini adalah pelaku aktor dari berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan, sehingga bisa dikatakan tepat.

Sesi materi tentang Sistem Kepartaian dan Pemilu disampaikan oleh Prof.  Ichlasul Amal yang lebih banyak bercerita tentang kondisi empiris bagaimana implementasi sistem kepartaian Indonesia mulai sejak zaman Orde Baru dan pasca orde baru dengan sistem multi partai. Narasumber juga banyak memberikan perbandingan dengan sistem kepartaian di beberapa Negara seperti Jerman, Amerika dan Australia termasuk Sistem Pemilunya. Forum berlangsung secara dinamis dan interaktif. Beberapa pertanyaan kritis yang disampaikan peserta antara lain adalah sebagai berikut: terkait dengan sistem distrik dan proporsional kelebihan dan kelemahan, ada beberapa peserta yang memberikan ilustrasi kasus-kasus Pemilu 2004 terkait dengan keberadaan sistem distrik dan proporsional yang dilaksanakan setengah2 di Indonesia.; Tentang hak recall juga sempat menjadi perdebatan serius dalam forum tersebut, di mana disampaikan bahwa mestinya yang berhak merecall anggota DPR/D adalah konstituennya dan justru bukan DPP serta kejelasan ketentuan tentang recalling agar partai tidak seenaknya merecall anggota DPR/D; Peserta ada juga yang memberikan refleksi proses pemilu dan implementasi sistem kepartaian di Indonesia, lalu muncul pertanyaan dari berbagai sistem kepartaian dan pemilu manakah yang paling ideal?

Materi tentang bentuk Negara dan pemerintahan disampaikan oleh Drs. Luqman Hakim, M.Sc, yang lebih banyak bicara tentang Teori Demokrasi dari masa-kemasa. Narasumber juga memberikan gambaran tentang berbagai warna dan bentuk demokrasi di berbagai Negara barat seperti Inggris, Perancis dan Amerika. Wacana yang berkembang dikalangan peserta tentang Demokrasi Pancasila serta sistem demokrasi apa yang paling ideal untuk diterapkan di Indonesia. Namun dari keseluruhan wacana yang berkembang selama materi ini lebih banyak mengupas pada konsepsi dasar dari prinsip-prinsip demokrasi, yang meliputi: bentuk pemerintahan banyak orang, kesatuan tiga nilai: Kemerdekaan persamaan dan persaudaraan, kompromi dan persuasi serta legitimasi berdasarkan dukungan oleh masyarakat luas.

Materi Pemberdayaan DPR dalam Demokratisasi difasilitasi dalam bentuk bermain peran, dimaana peserta mensimulassikan proses pemilu dan bagaimana membangun komunikasi politik dengan konstituen. Setelah terpilih anggota legislative, maka disodorkan sebuah kasus kepada  peserta tentang pro dan kontra revisi UU Ketenagakerjaan, dimana peserta dibagi menjadi kelompok yang mewakili buruh dan pengusaha. Menyikapi kondisi tersebut, anggota legislatif terpilih diminta untuk menyikapi dengan menggali aspirasi dan serta mengambil keputusan apakah menerima atau menolak rencana revisi UU Ketenagakerjaan tersebut. Pembelajaran yang diperoleh dari proses permainan peran tersebut menggambarkan realitas kondisi parlemen di Indonesia. Pasca permainan peran diberikan pencerahan serta refleksi tentang kondisi parlemen saat ini.

Hari ditutup dengan refleksi dan evaluasi terkait perjalanan program simpul demokrasi di Kabupaten Malang yang dilakukan oleh semua peserta. Hasil evaluasi meliputi bagimana dengan tingkat partisipasi, peserta yang hadir memiliki komitmen bahwa keberadaan program ini sangat dibutuhkan oleh peserta. Kalaupun ada beberapa sesi peserta tidak hadir dikarenakan waktu yang berbenturan dengan aktivitas rutin dari peserta Simpul Demokrasi.. Sehingga muncul wacana penggantian pelaksanaan Sekolah Demokrasi dari setiap hari sabtu dan minggu menjadi dimulai hari Jumat dan Sabtu, namun berbagai pandangan dan usulan peserta tersebut tetap menyepakati jadwal semula, namun diterapkan mekanisme surat ijin bila berhalangan hadir dalam kegiatan SD. Terkait dengan materi-materi yang sudah disampaikan , menurut peserta seringkali terjadi pengulangan materi-materi yang sudah disampaikan terdahulu, contohnya seperti materi tentang bentuk Negara dan bentuk pemerintahan dalam demokrasi yang pembahasan oleh narasumber cenderung lebih banyak mengupas tema konsepsi demokrasi yang telah dibahas pada awal-awal pertemuan SD.

Sesi hari Minggu diawali dengan bina suasana, dan dilanjutkan dengan materi tentang desentraliasi yang disampaikan oleh DR Mas’ud Said. Narasumber banyak memberikan catatan-catatan perjalanan desentraliasi serta fakta-fakta empirik perkembangan desentralisasi di Indonesia. Peserta banyak juga merefleksikan proses perjalanan desentralisasi di Indonesia dengan mengutarakan berbagai penyakit desentralisasi termasuk salah satunya adalah desentralisasi korupsi.

Sekolah Demokrasi V diakhiri dengan koordinasi untuk melakukan advokasi masyarakat dan investigasi terkait dengan pencemaran limbah di Malang Selatan yang dipandu oleh salah seorang peserta sekolah, M. Najib Ghoni.

sumber : /www.simpuldemokrasi.com/program-sekolah-demokrasi/sekolah-demokrasi/sekolah-demokrasi-i/1429-sistem-politik-dan-pemerintahan-indonesia.html

 

 

Kemandirian Bangsa dalam sosial, Politik, Ekonomi dan telekomunikasi

Suatu ketika John Maynard Keynes – seseorang yang dipandang bijaksana – mengatakan bahwa “hal yang paling sulit bukanlah mengajak orang untuk dapat menerima ide-ide baru, namun mengajak orang untuk meninggalkan kebiasaan hidup dengan cara-cara lama”. Kata-kata ini nampaknya relevan jika dikaitkan dengan keadaan sekarang ini sehubungan dengan sulitnya mela-kukan implementasi sistem teknologi informasi yang berhasil. Tanpa adanya dukungan dan disiplin dari seluruh jajaran pengguna (user) di dalam perusahaan untuk memanfaatkan teknologi informasi, semuanya akan berjalan secara percuma. Lihatlah bagaimana keeng-ganan seorang user dalam mengupdate data akan bermuara pada fenomena “garbage in, garbage out”. Bridges, salah seorang pakar transisi manajemen terkemuka, mengatakan bahwa “kebanyakan perusahaan tahu persis akan cara-cara bagaimana membuat orang untuk melawan perubahan, bahkan mereka cenderung memaksakannya ke karyawan”.
Kerap kali ditemukan fenomena dimana dalam sebuah pertemuan atau rapat seorang Presiden Direktur menje-laskan langkah-langkah baru yang akan segera dilakukannya dalam waktu dekat, dimana seluruh jajaran manajemen dan karyawannya harus mengikuti. Katakan-lah akan dilakukan otomatisasi terhadap proses mana-jemen material (materials management) dari yang bersifat manual untuk dirubah kemudian menjadi berbasis komputer (misalnya dengan menggunakan sebuah modul ERP tertentu). Lihatlah apa yang biasa dilakukan oleh para manajer terkait? Biasanya yang sering terjadi adalah Kepala Divisi Manajemen Material akan mencoba untuk mencocokkan sistem manual yang dijalankan saat ini agar sesuai  jika “dimasukkan” ke dalam modul ERP yang berbasis komputer tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi di sini adalah Kepala Divisi tersebut berusaha untuk “memotong ukuran telapak kakinya (sistem manual), agar masuk ke dalam sepatu yang tersedia (modul ERP)”. Kebanyakan implementasi sistem teknologi informasi gagal bukan karena desain-nya buruk atau tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, tetapi karena adanya elemen sumber daya manusia yang tidak tahu bagaimana caranya mengelola sebuah transisi dari sistem lama ke dalam lingkungan kerja sistem baru.

sumber :rizalforbes.wordpress.com/tag/artikel/

 

fisik (ekonomi-sosial-budaya) yang merupakan bagian dari komponen lingkungan. hidup. Prinsip dasar ekologi yang harus dilaksanakan di dalam setiap pelaksanaan. kebijakan pembangunan di Indonesia adalah; menjaga keseimbangan dan fungsi ...
Tatacara ini masih nampak menghidupi masyarakat Sunda tradisional Tetapi merekalah sebenarnya yang dapat disebutkan individu-individu penerus tradisi budaya dan adat istiadat nenek moyang dengan ciri kekhasan Ki Sunda. ... Ke dalam tatanan yang relevan seuai dengan kebutuhan dan kepentingan an budang kajian multidisipliner, ataupun wadah-wadah sosial budaya ebsgai wakil-wakil pemerhati warisan budaya serta yang benar-benar sadar dan “haus” untuk mengenal jati dirinya. ...
Pulau Jawa dijadikan sebagai pusat migrasi karena pulau Jawa merupakan pusat kenegaraan. Modernisasi Dan pusat pendidikan ( pelajar, pedagang, pegawai, militer, tukang ) Akibat Sosial Migrasi 1. hubungan. Antarsuku dan antardaerah makin erat ... Snouck Hurgronje 1. Membedakan Islam sebagai ajaran agama dan ajaran politik 2. Dukungan dari kaum adat 3. Perubahan masyarakat Indonesia dimodernkan dengan budaya barat 4. Tidak langsung menuduh pemuka agama sebagai biang keladi ...
Untuk sebagian besar, dilapisi Islam dan dicampur dengan budaya dan agama yang ada pengaruh, yang membentuk bentuk utama Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. [20] Eropa pertama tiba di Indonesia tahun 1512, ketika para pedagang Portugis, dipimpin oleh ..... [126] Sebagian besar orang Indonesia-seperti abangan Jawa, Bali Hindu, dan Dayak Kristen-praktek yang kurang ortodoks, bentuk sinkretis agama mereka, yang menarik pada adat istiadat dan kepercayaan setempat. ...
Sejarah mencatatkan beberapa nama besar tokoh-tokoh ulama melayu silam yang “dimiliki secara bersama” oleh umat Islam di kepulauan Nusantara ini. Mereka berdakwah tanpa mengenal batas sempadan wilayah, sosial, budaya, politik dan ekonomi ketika itu. ..... Pendidikan asas Raja Ali Kelana dalam bidang Islam, bahasa Melayu, bahasa Arab, adat istiadat kebangsawanan Melayu dan undang-undang kepemerintahan adalah diperoleh di Riau dan dilanjutkan di Mesir. ...
Mandi Belimau adalah salah satu adat istiadat di Pulau Bangka Belitung yang diadakan menjelang Bulan Ramadhan. Pelaksaan Mandi Belimau ini bertujuan untuk membersihkan diri menjelang Bulan Ramadhan. Upacara diawali dengan kegiatan Napak ...
Sembahyang Rebut atau Chit Ngiat Pan adalah salah satu adat kepercayaan warga Tionghoa yang ada di Pulau Bangka Belitung. Warga Tionghoa percaya pada tanggal 15 bulan 7 menurut perhitungan tanggal Cina pintu akhirat terbuka lebar, ...
Adat Istiadat Pulau Bangka Belitung (3). BUANG JONG. Asal Mula Upacara Buang Jong Buang Jong merupakan salah satu upacara tradisional yang secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat suku Sawang di Pulau Belitung. ...
Wilayah ini termasuklah bumiputera dari Siam, Semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan India Timur (East Indies) yang sekarang digelar Indonesia dan pulau-pulau yang sekarang digelar Philipines (Shafie, 1995). ... Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Budisantoso, dkk (1986) mengatakan bahwa struktur sosial masyarakat Melayu terbuka, artinya, mereka menerima siapa saja dengan catatan tidak mengusik adat istiadat (budaya) mereka yang bernafaskan Islam, sehingga budaya Melayu ...
Gambaran di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa manusia Bali pada akhir masa perundagian, atau menjelang masa sejarah, telah mencapai tingkat kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, religi, teknologi, dan sebagainya yang relatif maju ... Keterangan seperti itu terbaca pula dalam kitab sejarah baru dinasti T'ang (618-908), dengan sedikit tambahan yang menyatakan bahwa di sebelah timur P'o-li terletak Lu-cha dengan adat-istiadat sama dengan P'o-li (Groenveldt , ...

PEMUDA DI TENGAH REALITAS POLITIKInstrumen Pengabsah atau Instrumen Perubah
Oleh Armin Mustamin Toputiri

Era reformasi Indonesia, memberi andil dalam banyak perubahan tatanan bernegara (state) dan berbangsa (nation), terutama di bidang politik dalam kerangka bangunan sistem politik, yang ikut bersinggungan saling mempengaruhi perubahan tatanan budaya dan prilaku politik. Pemilihan umum dengan sistem multi partai misalnya --- selain Pemilu 1955 --- kembali diberlakukan pada pelaksanaan Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik. Dan pada Pemilu 2004, berdasarkan kebijakan KPU --- menurutnya peserta pemilu sebelumnya berjumlah besar --- jumlah partai politik diperkecil , yang kemudian hanya diikuti 24 kontestan.

Berdirinya partai politik --- dalam jumlah cukup banyak dibanding sebelumnya --- memberi dampak positif pada teraksesnya sejumlah kader-kader potensil untuk terlibat menjadi praktisi politik. Pada masa orde baru --- berdasarkan fusi partai1 --- hanya ada dua partai politik plus satu orsospol2 yang menjadi peserta pemilu, sehingga akses untuk terlibat didalamnya sangat terbatas dan tidak kondusif, dimana selama tiga dasawarsa sistem politik menjadi carut-marut akibat rekayasa politik orde baru yang memberlakukan sistem kepartaian hegemonik (hegemonic party system).3 Saatnnya di era reformasi sekarang ini, kader-kader potensil saatnya memiliki ruang lapang dan sudah tersedianya wadah untuk dapat mengartikulasikan gagasan-gagasan dan pemikiran politiknya, untuk membangun tatanan politik ke-Indonesia-an dalam sistem kepartaian yang kompetitif (competitive party system).

Keterlibatan sejumlah kader-kader potensil itu, sebagian besar diantaranya --- sekurang-kurangnya --- oleh sejumlah kalangan mengetahuinya sebagai orang-orang profesional, kaum intelektual, cerdik-cendekia dan memiliki “jam terbang” tinggi sebagai idealis disejumlah kelembagaan masyarakat, termasuk diantaranya mereka golongan berusia muda. Maka oleh banyak elemen kemasyarakatan meletakkan harapan dipundak mereka, akan adanya suatu tatanan sistem dan budaya politik yang lebih baik di masa datang. Masalahnya karena sampai saat ini, mereka diperhadapkan pada dua situasi yang memiliki kekuatan tarik menarik yang sama kuatnya, dan memiliki pengikut atas pahamnya masing-masing.4

Pertama, yaitu antara mereka yang --- sadar atau tidak --- masih berparadigma lama untuk menjaga status quo, berhadapan dengan mereka yang mengklaim dirinya sebagai kaum reformis. Pada pihak pertama, terjebak pada prilaku dan sikap pragmatis berdasarkan ukuran lama dimasa orde baru. Mereka ini, tidak semata eksponen dari salah satu partai politik lama, tetapi juga di partai baru yang memahami politik secara parsial. Pada pihak kedua, mereka yang memiliki komitmen pembaharuan, selalu berdaya-upaya mendorong perubahan tatanan politik secara cepat, untuk memberdayakan peranan partai politik sesuai tujuan dan fungsinya demi terbangunnya demokratisasi dan masyarakat madani (civil society),5 meskipun disadari tidak berpengalaman dalam praktek politik sebagai kekurangannya.

Kedua, antara penganut paham stuktural yang memandang bahwa perubahan tatanan politik, hanya mungkin dicapai melalui perbaikan sistem politik. Dan penganut paham kultural lainnya, yang berkesimpulan bahwa justru budaya politklah yang seharusnya menjadi dasar dalam membijaksanai pemberlakuan suatu sistem politik.

Sejarah Pendirian Partai Politik
Jika ditelusuri sejarah kelahiran partai politik, pada mulanya terinspirasi oleh bagaimana sejatinya elemen kemasyarakatan menyalurkan aspirasinya kepada penguasa. Itu terjadi disejumlah negara Eropa yang menganut sistem monarki, dimana kekuasaan atas negara dan pemerintahan secara absolut dipegang oleh kerajaan yang berkuasa secara mutlak. Maka untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam kekuasaan negara yang begitu kuat, oleh segolongan masyarakat kemudian menggabungkan dirinya dalam kelompok-kelompok untuk secara bersama-sama menyalurkan aspirasinya, yang dalam perkembangannya kelompok-kelompok itu kemudian mendapatkan pengakuan dalam sistem politik kenegaraan, yang pada bentuknya disebut dengan “Partai Politik”.

Pada perkembangan selanjutnya, partai politik tidak lagi diorientasikan semata untuk penyaluran aspirasi, tetapi pada prakteknya juga dimanfaatkan oleh elitnya untuk menjadi instrumen pencapaian posisi dan kedudukannya di lembaga formal, baik di lembaga perwakilan aspirasi pendukungnya (legislatif), maupun di jajaran pemerintahan (eksekutif), dengan dalih bahwa aspirasi yang disampaikan hanya mungkin efektif pencapaiannya, jika kedudukan dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif dapat diraih, untuk berfungsi mensejah-terakan pendukung dan anggotanya

Ironisnya karena para ahli ilmu politik dalam merumuskan definisinya, tidak mempetakan antara “tujuan” dan “fungsi” partai politik itu sendiri. Sebutlah misalnya definisi yang dikemukakan dua ilmuan politik terkemuka. Carl J. Friedrich mendifinisikan partai politik pada tujuannya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, untuk maksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil. “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective df securing or maintaning for its leaders the control of a government, with the farther objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages”.6
Sementara lebih jauh oleh R. H. Soltau mengemukakan definisinya tentang partai politik sebagai organisasi yang dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan dalam menjalankan kebijaksanaan umum: “A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by the us of their voting power, aim to control the govern ment and carry out their general policies”.7

Jika rumusan dari dua definisi itu dicermati, jelas bahwa antara tujuan dan fungsi semakin tidak nyata pembedaannya, sehingga --- sadar atau tidak sadar --- dalam prakteknya, menjebak para pelaku politik (elit partai politik) tidak lagi mementingkan pembedaan itu, sehingga dapat mengaburkan cita-cita ideal ideal pendirian suatu partai politik, dan dalam prakteknya untuk tujuan kemaslahatan pendukungnya.

Bergesernya Peranan Partai Politik
Idealnya, keberadaan partai politik dibedakan atas dua peranan; yaitu “tujuan” di satu sisi, dan “fungsi” pada sisi yang lain, meskipun kenyataannya pem-bedaan itu semakin dikaburkan. Tujuan partai politik, adalah sarana untuk mencapai kedudukan atas dukungan pengikut dan pendukungnya. Sementara fungsi partai politik adalah untuk memperjuangkan aspirasi bagi kesejahteraan para pengikut dan pendukungnya, yang telah mempercayakan kepadanya melalui pemberian suara dalam pelaksanaan pemilu.

Jika pembedaan antara tujuan dan fungsi itu coba disepadankan dengan realitas dalam praktek politik, maka berdasar kesimpulan empiris --- terutama dalam tradisi politik ke-Indonesia-an kontemporer --- ternyata peranan partai politik mengalami pergeseran. Para elit dan pelaku politik lebih mengedepan-kan tujuan partai politik ketimbang pada fungsinnya, yang justru dijadikan hal yang kesekian. Akibatnya, rakyat pemilih sebagai konstituen --- pemegang kedaulatan atas pilihan politik --- diposisikan semata untuk di eksploitir sebagai alat legitimasi atas posisi kedudukan yang diraih elitnya.

Dalam prakteknya, partai politik lebih berorientasi tujuan daripada proses. Pembuktian terhadap kenyataan seperti itu, semakin nyata di Indonesia dimasa kepemimpinan era orde baru, dengan politik massa mengambang (floating mass).8 Pada masa itu, pilihan rakyat didasarkan atas order dari kekuasaan yang dimobilisasi secara sistemik melalui otoritas kekuasaan single majority,9 maupun dengan praktek mobilisasi massa dengan jargon-jargon verbal yang mengawang-awang. Misalnya melalui praktek money politic10 untuk upaya pemenuhan kebutuhan rakyat secara jangka pendek, serta upaya peningkatan kesejahteraan rakyat secara jangka panjang dalam bentuk harapan-harapan yang terlalu sulit untuk menunggu realisasi sebagai pembuktiannya.11

Pergeseran seperti itu, masih tetap membias dalam praktek politik multi partai era reformasi, sekelompok orang beramai-ramai mendirikan partai politik, dengan rumusan flaform yang begitu ideal, tetapi kenyataannya dari sekitar 10 partai politik yang mampu mencapai tujuan untuk memposisikan elit-nya di sejumlah lembaga legislatif di tanah air, secara praksis ikut-ikutan terjebak dalam menjalankan fungsi-fungsi keterwakilannya. Belum lagi menyebut peranan partai politik itu sendiri, platform kemudian hanya menjadi rumusan ideal di atas kertas, tanpa ada lagi korelasinya dengan program pencapaiannya. Ramai-ramai berprogram menjelang pelaksanaan pemilu, semata hanya untuk tujuan mengakses kader-kadernya dalam pencapaian tujuan partai politik, pasca pemilu aktivitas partai politik ikut menurun --- kalau tidak dikatakan terhenti --- padahal idealnya sejarah partai politik didirikan untuk men-jalankan fungsi-fungsinya, sementara untuk pencapaian tujuan adalah sasaran antara.12

Partai politik idealnya harus bergerak secara terus menerus untuk menjalankan aktivitasnya untuk menjalankan fungsi-fungsinya untuk mengakses problematika sosial yang dihadapi masyarakatnya, untuk dapat diartikulasikan dan diperjuangkan para wakil-wakilnya di parlemen. Pakar ilmu politik ternama dari Universitas Indonesia Miriam Budiardjo mengemukakan --- setidak-tidaknya --- ada empat fungsi partai politik, yaitu; (1) sebagai sarana komunikasi politik; (2) sebagai sarana sosialisasi politik, (3) sebagai sarana rekruitmen politik; dan (4) sebagai sarana pengatur konflik.13

Sistem Politik dan Budaya Politik
Pada hakekatnya, dalam membangun tatanan politik egalitarian, tidak semata dipahami pada aspek paradigma “pelaku” politik dalam dua agenda, antara komitmen pembaharuan versus status quo. Hal lain yang terlalu sulit untuk --- tidak akan mungkin --- bisa dihindari, adalah soal antara bagaimana berjalannya suatu sistem politik (political system) di satu sisi, dan kondisi budaya politik (cultur politic) pada sisi yang lain yang melingkupinya. Kedua soal ini, secara sifat dasarnya masih menjadi suatu yang paradoksal sampai saat ini, dimana dua aliran pemikiran itu masih memiliki relevansi pembe-narannya masing-masing. Satu sisi mendebat bahwa sistem politiklah yang melahirkan budaya politik. Tetapi penganut paham lain berargumen bahwa justru budaya politiklah yang mempengaruhi lahirnya sistem politik.14

Jika dua aliran politik ini coba dicermati --- dengan tidak mengabaikan pemetaan pemikiran antara tujuan dan fungsi partai politik, sebagaimana dibahas sebelumnya --- secara sederhana dapat dimengerti bahwa penganut sistem politik melihatnya pada sisi arti pentingnya kekuasaan untuk melegiti-masi pemberlakuan suatu sistem. Sementara penganut paham budaya politik, lebih pada idealisme untuk memaknai kultur politik yang bertumbuhkembang di tengah masyarakat, sehingga dalam prosesnya mewujud pada pelembagaan sistem. Tentang dua argumen ini, pendekatannya hanya mampu dipertemu-kenali melalui kajian ilmu sosiologi, tidak lagi dalam tataran kajian ilmu politik.

Seorang pemikir sosiologi Ignas Kleden15 secara cerdas mengupas pembeda-annya, bahwa apakah institusi formal yang mempengaruhi perubahan sosial, ataukah sebaliknya. Dikemukakannya bahwa sistem sosial tercipta atas ketaatan penganutnya, dimana prosesnya distabilkan dalam suatu bentuk institusi sosial. Kelembagaan sosial itulah yang menjadi pengikat nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, dan ketika masyarakat memiliki daya ikat naka dengan sendirinya menjadi norma yang mengikat secara formal dalam suatu kelembagaan formal. Institusi formal itulah sebaliknya mengikatnya menjadi suatu sistem nilai bagi masyarakat untuk ditaatinya.

Kesimpulannya bahwa antara sistem sosial yang mencipta budaya politik, dan sistem formal mencipta sistem politik, tidak pada pandangan mana diantaranya yang lebih dominan memberi pengaruh, tetapi suatu yang sifatnya komplementer, saling ikut mempengaruhi sehingga seharusnya digerakkan secara bersama. Untuknya dalam setiap fase perubahan --- termasuk era reformasi saat ini --- akan selalu didorong adanya perubahan sistem politik melalui institusi formal negara, yang oleh ahli ilmu negara Max Weber, mengatakannya “memiliki kekuatan memaksa”.16

Berangkat dari seperangkat aturan yang diberlakukan oleh negara, disadari lambat laun ikut mendorong percepatan terciptanya budaya dan prilaku politik yang demokratis. Pada sisi yang lain, budaya politik sebagai seperangkat nilai dan norma kebiasaan yang berlangsung di tengah masyarakat dan diikat oleh institusi sosial, ikut mempengaruhi perumusan suatu sistem politik untuk tunduk pada nilai-nilai yang ditaati dan diakui oleh masyarakat, sehingga ketaatan antara keduanya terfasilitasi melalui institusi sosial dan institusi formal yang saling memberi muatan satu dengan yang lain.

Sedemikian pemahamannya, sehingga bagaimana para pelaku politik mampu memaknai keduanya dalam satu bingkai perubahan sistem politik dan budaya politik yang digerakkan secara komplementer. Untuk itu jelas Ignas Kleden,17 budaya politik tidak sekedar dijadikan dasar bagi tingkah laku politik, tetapi juga dibentuk dan diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik dari para pelaku politik. Itu karena tingkah laku politik banyak memberi pengaruh terciptanya budaya politik. Ini berarti bahwa tingkah laku politik yang bersih, akan menghasilkan budaya politik yang bersih pula, sehingga mendorong tercip-tannya bangunan sistem politik yang berkeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.

Kalau dalam era reformasi saat ini --- jujur dikatakan ----- perubahan sistem politik yang dilakukan sampai saat ini sangat luar biasa, sistem dengan pemilihan langsung dalam pelaksanaan pemilu misalnya. Tetapi kemudian menjadi suatu yang paradoksal, karena pendidikan politik untuk mencipta budaya politik tidak sebanding perubahannya, sehingga yang terjadi bahwa pilihan rakyat secara langsung dalam pemilu, bukan karena tujuan untuk pilihan yang ideal, tetapi karena suatu pengaruh mempengaruhi atas kepen-tingan jangka pendek.

Pemuda dan Perubahan Politik
Mengungkapkan realitas politik --- sebagaimana dingkapkan sebelumnya --- tegas disimpulkan bahwa transformasi politik adalah suatu keniscayaan, sehingga --- sekurang-kurangnya --- yang menjadi agenda atas persoalan itu adalah; Pertama; soal bagaimana para elit-elit partai politik mampu memberi arti keberadaan suatu partai politik, bukan semata pada tujuannya untuk menjadi instrumen pencapaian kedudukan, tetapi jauh lebih berarti adalah menggerakan fungsi-fungsinya untuk mengartikulasikan kemaslahatan rakyat banyak. Kedua, bagaimana elit-elit para pelaku politik untuk tidak terjebak pada adagium dan paradigma lama untuk meletakkan status quo, tetapi pada komitmen dan integritas sebagai elemen perubah. Ketiga, bagaimana para pelaku politik mampu mendorong tercipatanya sistem politik di satu sisi, dan menggerakkannya secara komplementer dengan budaya politik yang bertum-buh kembang di tengah masyarakat.

Jika ketiga soal tersebut dijadikan sebagai agenda transformasi politik, maka --- selain kaum intelektual dan cerdik cendekia --- posisi peran pemuda diharapkan menjadi instrumen penentu, sebagaimana rentetan pergerakannya yang dicatatkan dengan tinta emas dalam potret sejarah perubahan bangsa Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (kebangkitan nasional 1908, per-sepakatan satu bangsa 1928, dan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 1945), maupun sesudah Indonesia merdeka (Tritura 1966, Malari 1974 dan reformasi 1998).18

Hanya saja, persoalan lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, adalah soal pola dan bentuk gerakan kaum muda dalam menggerakkan suatu perubahan. Yaitu antara gerakan struktural dalam bentuk pemberontakan,19 ataukah gerakan kultural dalam bentuk penciptaan kesadaran hak-hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Penganut gerakan kultural menuding bahwa gerakan struktural tidak menyentuh pada substansi persoalan, semen-tara penganut struktural berdalih bahwa gerakan kultural sangat lamban dalam melakukan perubahan. Meskipun, dari sisi proses keduanya memiliki tarik ulur yang sama kuatnya, tetapi ketemu pada tujuan pencapaiannya dalam melaku-kan perubahan.

Untuk itulah, selain karena memiliki pembenarannya masing-masing, juga karena keduanya memiliki pencapaian tujuan yang sama, sehingga soal itu tidak mesti harus diselesaikan. Tetapi dalam melakukan transformasi politik era reformasi, keduanya sama-sama menjadi penting. Transformasi politik di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana tujuan partai politik untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan bagaimana para pelaku politik mampu menggerakkannya. Selebihnya transformasi politik secara kultural menjadi suatu yang absah, yaitu bagaimana menggerakkan partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi masyarakat --- setidak-tidaknya --- para pengikutnya, untuk menciptakan suatu budaya politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen pembaharuan dari para pelaku politik.

Kedua sisi itulah yang melingkupi kaum muda dalam realitas politik dalam melakukan transformasi politik. Secara struktural (dalam pemahaman ini), jauh lebih memungkinkan untuk mampu digerakkan oleh kaum muda jika mengambil posisi peran sebagai praktisi politik dalam struktur partai politik, untuk menggerakkan kelembagaan partai politik secara institusional. Mengge-rakkan roda organisasi untuk melakukan reproduksi mekanis atas suatu peristiwa politik, bukan untuk pencapaian tujuan kekuasaan semata, tetapi menggerakkan fungsi-fungsinya untuk mengkomunikasikan dan mensosia-lisasikan politik, serta memanfaatkan partai politik sebagai sarana pengatur konflik.

Sama berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi politik secara kultural, dengan melihatnya bahwa kerja-kerja politik bukanlah urusan teknis yang mekanistik, tetapi pekerjaan intelektual. Yaitu menggerakkan tujuan perubahan berdasarkan pergulatan dan dialektika yang intens dilakukannya antara persepsi dirinya dengan bagaimana meman-dang suatu peristiwa politik, kaitannya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu bangunan negara. Dengan itu, bentuk peru-bahan yang dilakukannnya adalah merupakan pergulatan dirinya dengan persoalan dengan melibatkan tanggungjawab sosialnya dan integritas intelek-tual yang dimilikinya.20

Cita-cita ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi politik itu, adalah terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan masyarakat madani (civil society), yaitu menggerakkan keadaan sebagaimana mestinya, mempertimbangkan kemanfaatannya, serta memberi perspektif terhadap nilai yang sedang dianut ditengah masyarakat sebagai budaya politik dan mengar-tikulasikannya dalam sistem politik, untuk selanjutnya bermuara kembali menjadi budaya politik, dan selanjutnya. Itu artinya bahwa, bagi kaum muda yang akan melakukan transformasi politik, bukanlah suatu tanggungjawab yang bebas nilai, tetapi memiliki seperangkat nilai yang menjadi referensi perge-rakannya, serta memperjelas posisi gerakannya, maupun untuk memben-tangkan visi ideal yang menjangkau ke depan atas cita-cita yang hendak di-capainya.

Pemaknaan atas pola pergerakan yang sedemikian itu, referensi nilai dijelaskan Dirk Huels21 adalah unsur konstitutif yang menentukan watak dan kepribadian, karena memerlukan kejujuran dan keikhlasan untuk berani menjauhkan unsur-unsur subjektif bagi kepentingan diri semata, tetapi berikhtiar pada objektivitas atas suatu perangkat nilai untuk tetap setia pada ide dasar dan cita-cita perjuangan yang telah digariskan sebelumnya, dan jauh lebih mengedepankan tujuan jangka panjang dan untuk tujuan kemaslahatan orang banyak.

Pada saat adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu jugalah objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas terhadap setiap diri. Suatu yang pada dasarnya memang semakin paradoksal sekali sifatnya, karena menjadi suatu yang sejak mula adanya politik dan partai politik itu sendiri --- sebagaimana diungkapkan diawal tulisan ini --- substasinya adalah soal problematika kepentingan itu sendiri, dalam kamus politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan itu sendiri”. Jika demikian mestinya, masih mampukah kaum muda diharapkan menjadi elemen perubah dalam tatanan politik ke-Indonesia-an mendepan, ataukah hanya berposisi jadi elemen pengabsah atau suatu realitas politik yang sudah demikian adanya.

Untuk memberi jawaban sederhana terhadap soal itu, bahwa kultur politik era reformasi saat ini, yang menjadi realitas politik yang melingkupi kaum muda, tidak memungkinkan lagi baginya untuk berposisi sebagai pengabsah semata. Jika tidak ingin bergeser dari ideologi pragmatisme,22 maka sistem politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan bergerak begitu sangat cepat, pasti akan menggilasnya. Dan pada saatnya kelak, zaman yang akan mencatatnya dalam lembaran sejarah yang buruk.

Catatan Kaki

1 Pasca-Pemilu 1971, sejak tahun 1974 pemerintah memberlakukan kebijakan fusi partai, yaitu penggabungan 4 (empat) partai Islam berfusi menjadi PPP, dan 5 (lima) partai nasionalis Kristen-Katolik berfusi menjadi PDI, ditambah Golongan Karya. Sebagai orsospol peserta pemilu.

2 Golongan Karya pada saat itu, dalam bentuknya hanyalah organisasi sosial politik, dan sama sekali tidak dalam status partai politik, tetapi karena menjadi organisasi perpanjangan tangan kekuasaan, sehingga menjadi salah satu peserta pemilu.

3 Afan Gaffar: “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

4 Indikasi kuat terhadap fenomena ini, dapat disaksikan dari terpolarisasinya sejumlah partai politk dalam dua bentuk pada Pilpres 2004, sampai berlanjut terpetakannya keanggotaan DPR-RI 2004-2009 dalam dua kelompok yang membawa pengaruh pada “bentrok” cukup tajam dalam setiap proses pengambilan keputusan, antara koalisi kebangsaan yang dimotori partai pemenang Pemilu 2004 Partai Golkar dan PDI-P, berhadapan Koalisi Kebangsaan yang yang dimotori Partai Demokrat dan PKS;

5 Uraian sangat tajam tentang soal ini, baca buku Muhammad A. S. Hikam: “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta1996. Atau bandingkan pula pandangan sejumlah intelektual indonesia tentang bagaimana mendorong masyarakat yang partisipatif untuk dapat terlibat dalam setiap proses politik, dalam buku: “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, Burhanuddin (Editor), INCIS, Jakarta 2003.

6 Pengauraian lebih lanjut bagaimana fungsi dan peranan partai politik dalam membangun demokrasi dan mengatur kebijaksanaan pemerintahan di sejumlah negara Eropa dan Amerika, baca buku Carl J. Friedrich: “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.

7 R. H. Soltau dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, karangan Miriam Budiardjo, Penerbit Gramedia Jakarta, 1988.

8 Praktek politik massa mengambang di masa Orde Baru lihat buku karangan Riswandha Imawan “Membedah Politik Orde Baru”, Pustaka Pelajar Yogyakarta : 1997, serta Laporan Tim Laboratorium Ilmu Politik Fisip UI: “Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat: Reformasi UU Pemilihan Umum”, dalam Seri Penerbitan Studi Politik LIP FISIP-UI “Mengubur Sistem Politik Orde Baru”, Mizan, Bandung : 1998.

9 Kekuasaan single majority dimasa Orde Baru dikendalikan oleh Golkar (orsospol), sebagai pemenang pemilu (sejak tahun 1971 sampai 1997) yang mencapai perolehan suara nasional mencapai kurang lebih 60 % sampai 90 %,, dibanding kontestan lainnya PPP dan PDI-P.

10 Pembuktian terhadap praktek money politic dalam pelaksanan Pemilu di Indonesia, dapat dibaca sejumlah laporan sejumlah ornop yang bertugas dan terlibat sebagai pemantau pemilu, baik pada masa Orde Baru, lebih-lebih pada era roformasi dengan sistem multipartai yang mengikutkan puluhan partai politik sebagai kontestan.

11 Soal-soal janji-janji politik itu dapat disaksikan pada saat penyelenggaraan masa kampanye menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum, yang oleh sejumlah jurkam dalam menyampaikan program-programnya sangat muluk-muluk dan serba semuanya yang indah-indah untuk di dengar, agar mendapatkan simpati rakyat.

12 Suatu yang ironis, partai politik berlomba-lomba menjalankan programnya menjelang dan sampai pelaksanaan pemilu untuk mencari simpati rakyat, tetapi setelah pemilu berakhir, maka berakhir pulalah rangkaian program sejumlah partai politik, sehingga fungsi-fungsi partai politik beralih kepada wakilnya di lembaga legisltif, kalau seandainya tidak berhasil meloloskan kadaernya, maka sampai saat itulah partai politik bersangkutan memainkan peranya.

13 Selengkapnya lihat ulasan Miriam Budiardjo, dalam buku karangannya “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Penerbit Gramedia Jakarta, 1988.

14 Perdebatan panjang soal ini sudah berlangsung cukup lama. Perbedaan jalan berfikir antara Soekarno dkk dan Hatta dkk, misalnya di saat awal negara dibangun, tidak menemui titik temu, sehingga Hatta dengan sangat terpaksa mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Pertentangan soal ini kemudian menguat di awal-awal era reformasi, sebagian pemikir berbicara tentang perlunya reformasi sistem politik, tetapi pada saat yang bersamaan ada juga yang mencoba bersuara lain bahwa jauh lebih realistis memikirkan pembaharuan budaya politik.

15 Ignas Kleden dalam Kata Pengantar “Perspektif Pers Indonesia” karangan Jakob Oetama, LP3S, Jakarta 1987.

16 Max Webwr, “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)

17 Baca artikel Ignas Kleden “Budaya Politik atau Moralitas Politik?” yang dimuat Harian Kompas, 12 Maret 1998.

18 Gerakan pemuda untuk perubahan bangsa memiliki perbedaan orientasi. Pra-kemerdekaan memiliki kesinambungan dari upaya membangun nasio-nalisme, klaim persatuan nusa-bangsa-bahasa, dan pencapaian kemerdekaan indonesia. Pasca-kemerdekaan, setelah pemerintahan terbentuk, gerakan pe-muda tidak memiliki lagi kesinambungan orientasi tetapi tergantung pada situasi dan kondisi sistem negara yang perlu dilakukan perubahan.

19 Istilah ini digunakan Ben Anderson seorang indonesianis yang melakukan penelitian dalam penyusunan disertasinya pada Universitas Cornell Amerika Serikat, dengan judul “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945”, yang diselesaikannya tahun 1967.

20 Uraian tentang ini lebih orisinil diulas berdasarkan perspektif tang-gungjawab pers oleh Jakob Oetama dalam buku kumpulan tulisannya “Pers-pektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.

21 Dirk Huels “Kritischer Rasionalismus: Eine Zitgemaesse Philosophie?”, dalam Frans Neumann (Ed), Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.

22 Istilah ini digunakan oleh Idrus Marham (Ketua Umum DPP KNPI) dalam penguraian lengkapnya “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, dalam jurnal pemikiran kaum muda RESONANSI, volume 1 nomor 2 tahun 2003.

Kepustakaan:
1. Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
2. A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996
3. Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
4. Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.
5. Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
6. Max Webwr. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya Bab I)
7. Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.
8. Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
9. Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.
10. Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.

Sumber: Buku “Pemuda dan Politik”,
Penerbit: Badko HMI, PBHI dan DPD KNPI Sulsel, 2004